Upacara
Rambu Solo’ di Tana Toraja
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah
kepercayaan anisme politeistik yang disebut aluk, atau “jalan” (kadang
diterjemahkan sebagai “hukum”). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang
dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja
sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta.Alam semesta,
menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi),
dan dunia bawah.Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan
kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah
yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh
empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas,
ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong
Banggai di Rante (dewa bumi), Indo’ Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong
Lalondong (dewa kematian), Indo’ Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan
lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus
dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman disebut to
minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem
kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk
mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata
cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum
yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus
dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan
jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.Kedua ritual
tersebut sama pentingnya.
Upacara Pemakaman
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang
paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang,
maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Upacara kematian ini
disebut Rambu Solo’.
Rambu Solo’ merupakan acara tradisi yang sangat meriah di Tana
Toraja, karena memakan waktu berhari-hari untuk merayakannya. Upacara
ini biasanya dilaksanakan pada siang hari, saat matahari mulai condong
ke barat dan biasanya membutuhkan waktu 2-3 hari. Bahkan bisa sampai dua
minggu untuk kalangan bangsawan. Kuburannya sendiri dibuat di bagian
atas tebing di ketinggian bukit batu. Karena menurut kepercayaan Aluk To
Dolo (kepercayaan masyarakat Tana Toraja dulu, sebelum masuknya agama
Nasrani dan Islam) di kalangan orang Tana Toraja, semakin tinggi tempat
jenazah tersebut diletakkan, maka semakin cepat pula rohnya sampai ke
nirwana.
Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar
pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya
dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah
tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan
pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang
hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat
pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik
suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan
ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu
tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas
rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah
berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian
yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat
mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.Suku
Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan
tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya
(dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah
dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan.
Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara
pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin
berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih.
Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Suku Toraja percaya
bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan
lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau.
Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara
pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah
yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan
kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang
pada keluarga almarhum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar