BATUBARA SECARA UMUM
DEFENISI BATUBARA
Batubara adalah salah satu bahan bakar fosil yang terbentuk dari endapan,
batuan organik yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen.
Batubara terbentuk dari tumbuhan yang telah terkonsolidasi antara strata batuan
lainnya dan diubah oleh kombinasi pengaruh tekanan dan panas selama jutaan
tahun sehingga membentuk lapisan batubara.
Proses Pembentukan batubara itu
sendiri dimulai sejak zaman batubara pertama (Carboniferous Period / Periode Pembentukan Karbon atau Batubara),
yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu.
Mutu
dari setiap endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu
pembentukan, yang disebut sebagai ‘maturitas
organik’. Proses awalnya gambut berubah menjadi lignite (batubara muda) atau ‘brown
coal (batubara coklat)’ – Ini adalah batubara dengan jenis maturitas
organik rendah. Dibandingkan dengan batubara jenis lainnya, batubara muda agak
lembut dan warnanya bervariasi dari hitam pekat sampai kecoklat-coklatan.
Akibat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun,
batubara muda mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas
organiknya dan mengubah batubara muda menjadi batubara ‘sub-bitumen’. Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung
hingga batubara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam dan membentuk ‘bitumen’ atau ‘antrasit’. Dalam kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik
yang semakin tinggi terus berlangsung hingga membentuk antrasit.
Batu
bara adalah salah satu
bahan
bakar fosil. Pengertian umumnya adalah batuan sedimen yang dapat terbakar,
terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan
terbentuk melalui
proses pembatubaraan. Unsur-unsur utamanya terdiri
dari
karbon,
hidrogen dan
oksigen.
Batu
bara juga adalah batuan organik yang memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang
kompleks yang dapat ditemui dalam berbagai bentuk.
Analisis
unsur memberikan rumus formula empiris seperti C137H97O9NS
untuk bituminus dan C240H90O4NS untuk
antrasit.
UMUR BATUBARA
Pembentukan batu bara memerlukan
kondisi-kondisi tertentu dan hanya terjadi pada era-era tertentu sepanjang
sejarah geologi. Zaman Karbon, kira-kira 340 juta tahun yang lalu (jtl),
adalah masa pembentukan batu bara yang paling produktif dimana hampir seluruh
deposit batu bara (black coal) yang ekonomis di belahan bumi bagian
utara terbentuk.
Pada Zaman Permian, kira-kira
270 jtl, juga terbentuk endapan-endapan batu bara yang ekonomis di belahan bumi
bagian selatan, seperti Australia, dan berlangsung terus hingga ke Zaman
Tersier (70 - 13 jtl) di berbagai belahan bumi lain.
MATERI BATUBARA
Hampir
seluruh pembentuk batu bara berasal dari tumbuhan. Jenis-jenis tumbuhan
pembentuk batu bara dan umurnya menurut Diessel (1981) adalah sebagai berikut:
- Alga, dari
Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel tunggal. Sangat sedikit
endapan batu bara dari perioda ini.
- Silofita, dari
Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan dari alga. Sedikit
endapan batu bara dari perioda ini.
- Pteridofita, umur
Devon Atas hingga Karbon Atas. Materi utama pembentuk batu bara berumur
Karbon di Eropa
dan Amerika Utara. Tetumbuhan tanpa bunga dan biji,
berkembang biak dengan spora dan tumbuh di iklim hangat.
- Gimnospermae, kurun
waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur Tengah. Tumbuhan
heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal pinus, mengandung kadar
getah (resin) tinggi. Jenis Pteridospermae seperti gangamopteris dan
glossopteris adalah penyusun utama batu bara Permian seperti di Australia,
India dan Afrika.
- Angiospermae, dari
Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan modern, buah yang menutupi
biji, jantan dan betina dalam satu bunga, kurang bergetah dibanding
gimnospermae sehingga, secara umum, kurang dapat terawetkan.
PEMBENTUKAN BATUBARA
Proses
perubahan sisa-sisa tanaman menjadi gambut hingga batu bara disebut dengan
istilah pembatu baraan (coalification). Secara ringkas ada 2 tahap
proses yang terjadi, yakni:
- Tahap
Diagenetik atau Biokimia, dimulai pada saat material
tanaman terdeposisi hingga lignit terbentuk. Agen utama yang berperan
dalam proses perubahan ini adalah kadar air, tingkat oksidasi dan gangguan
biologis yang dapat menyebabkan proses pembusukan (dekomposisi) dan
kompaksi material organik serta membentuk gambut.
- Tahap
Malihan atau Geokimia, meliputi proses perubahan dari lignit menjadi
bituminus dan akhirnya antrasit.
KELAS DAN JENIS
BATUBARA
Berdasarkan tingkat
proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas dan waktu, batu bara
umumnya dibagi dalam lima kelas: antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit dan
gambut.
- Antrasit adalah
kelas batu bara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan (luster) metalik,
mengandung antara 86% - 98% unsur karbon (C)
dengan kadar air kurang dari 8%.
- Bituminus
mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-10% dari beratnya. Kelas
batu bara yang paling banyak ditambang di Australia.
- Sub-bituminus
mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh karenanya menjadi sumber
panas yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminus.
- Lignit atau
batu bara coklat adalah batu bara yang sangat lunak yang mengandung air
35-75% dari beratnya.
- Gambut,
berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang paling
rendah.
ISTILAH PERSYARATAN
KALORI DALAM PERDAGANGAN BATUBARA
Istilah
persyaratan kalori dalam transaksi batubara dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
a. GAD (Gross CV; ADB)
Untuk
kondisi ini, tampilan kalori cenderung tidak menunjukkan besaran kalor secara
tepat yang akan digunakan dalam pemanfaatan batubara, karena Free Moisture
tidak termasuk di dalamnya.
b. GAR (Gross CV; ARB)
Karena analisis
untuk kalori pada kondisi ini memasukkan faktor kadar air total, maka kondisi
ini menunjukkan batubara dalam keadaan siap digunakan. Akan tetapi, tampilan kalori masih belum menunjukkan kalor yang efektif
untuk dimanfaatkan dalam konversi energi yang bermanfaat.
c. NAR (Net CV; ARB)
Kondisi inilah yang benar – benar menampilkan energi panas efektif dalam
pemanfaatan batubara. Secara ringkasnya, transaksi komoditas batubara (uap)
sebenarnya sama saja dengan “membeli kalor (efektif)”. Sehingga dapat dipahami
bahwa munculnya prasyarat NAR merupakan sesuatu yang logis. Untuk
mendapatkan nilai GCV dalam NAR ini, perlu dilakukan perhitungan dengan rumus
seperti di bawah
NAR (kcal/kg) = GAR (kcal/kg) –
50.7H – 5.83TM ………. (3)
Beberapa hal yang perlu di perhatikan dari persamaan
di atas adalah:
- NAR adalah NCV dalam ARB.
- GAR adalah GCV dalam ARB.
Karena biasanya dalam ADB, maka harus dikonversi ke ARB.
- H (kadar hidrogen) biasanya dalam DB atau DAF sehingga harus dikonversi
ke ARB.
Menggunakan formula dari tabel 2 dan persamaan (3) diatas, kita akan
mencoba mengkonversi GCV dari sampel batubara dalam tabel 1 ke NCV berbasis
ARB. Karena pada sampel tersebut tidak dilakukan analisis untuk unsur H
(hidrogen), maka besaran angka yang akan digunakan disesuaikan dengan tipikal
nilai H untuk batubara di daerah tersebut, dalam hal ini sekitar 5.4 (DAF).
Untuk konversi kalori dari GCV (ADB) ke GCV (ARB),
maka berdasarkan tabel 3,
GCV (ARB) = 5,514 kcal/kg.
Sedangkan perhitungan dari H (DAF) ke H (ARB), maka
berdasarkan formula tabel 2,
H (ARB) = 4.18%.
Bila angka – angka tersebut disubstitusi ke persaman
(3), maka
NCV (ARB) = 5,191 kcal/kg.
Dengan demikian, maka:
Gross ADB (GAD) = 5,766 kcal/kg;
Gross ARB (GAR) = 5,514 kcal/kg;
Net ARB (NAR) = 5,191
kcal/kg.
Yang harus
diperhatikan adalah bahwa meskipun terdapat 3 nilai yang berbeda untuk kalori,
tapi semuanya merujuk ke batubara yang sama. Adapun angka mana yang akan digunakan dalam kontrak pembelian, tergantung dari
kesepakatan pembeli dan penjual. Sebagai contoh konkret dalam hal ini
:.
Bila indeks
harga untuk batubara berkalori 6,000 kcal/kg (GCV; ADB) adalah $35.00/t FOBT
misalnya, maka harga batubara di kontrak pembelian dalam Gross ADB berdasarkan calorie
parity adalah 5,766/6,000 X $35.00/t = $33.64/t.
Berikutnya bila kesepakatan kontrak pembelian adalah dalam Net ARB. Bila index
untuk batubara berkalori 6,000 kcal/kg tadi dalam Net ARB adalah 5,500 kcal/kg,
maka harga batubara akan menjadi 5,191/5,500 X $35.00/t = $ 33.03/t. (Dalam hal
ini, harga index tidak tergantung dari basis analisis).
BATUBARA DI INDONESIA
Di
Indonesia, endapan batu bara yang bernilai ekonomis terdapat di cekungan
Tersier, yang terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk Pulau Sumatera dan Kalimantan),
pada umumnya endapan batu bara ekonomis tersebut dapat dikelompokkan sebagai
batu bara berumur Eosen atau sekitar Tersier Bawah, kira-kira 45 juta tahun
yang lalu dan Miosen atau sekitar Tersier Atas, kira-kira 20 juta tahun yang
lalu menurut Skala waktu geologi.
Batu bara
ini terbentuk dari endapan gambut pada iklim purba sekitar khatulistiwa yang
mirip dengan kondisi kini. Beberapa diantaranya tegolong kubah gambut yang
terbentuk di atas muka air tanah rata-rata pada iklim basah sepanjang tahun.
Dengan kata lain, kubah gambut ini terbentuk pada kondisi dimana
mineral-mineral anorganik yang terbawa air dapat masuk ke dalam sistem dan
membentuk lapisan batu bara yang berkadar abu dan sulfur rendah dan menebal
secara lokal. Hal ini sangat umum dijumpai pada batu bara Miosen. Sebaliknya,
endapan batu bara Eosen umumnya lebih tipis, berkadar abu dan sulfur tinggi.
Kedua umur endapan batu bara ini terbentuk pada lingkungan lakustrin, dataran
pantai atau delta, mirip dengan daerah pembentukan gambut yang terjadi saat ini
di daerah timur Sumatera dan sebagian besar Kalimantan.[2]
ENDAPAN BATU BARA EOSEN
Endapan ini
terbentuk pada tatanan tektonik ekstensional yang dimulai sekitar Tersier Bawah
atau Paleogen pada cekungan-cekungan sedimen di Sumatera dan Kalimantan.
Ekstensi
berumur Eosen ini terjadi sepanjang tepian Paparan Sunda, dari sebelah barat
Sulawesi, Kalimantan bagian timur, Laut Jawa hingga Sumatera. Dari batuan
sedimen yang pernah ditemukan dapat diketahui bahwa pengendapan berlangsung
mulai terjadi pada Eosen Tengah. Pemekaran Tersier Bawah yang terjadi pada
Paparan Sunda ini ditafsirkan berada pada tatanan busur dalam, yang disebabkan
terutama oleh gerak penunjaman Lempeng Indo-Australia.[3]
Lingkungan pengendapan mula-mula pada saat Paleogen itu non-marin, terutama
fluviatil, kipas aluvial dan endapan danau yang dangkal.
Di
Kalimantan bagian tenggara, pengendapan batu bara terjadi sekitar Eosen Tengah
- Atas namun di Sumatera umurnya lebih muda, yakni Eosen Atas hingga Oligosen
Bawah. Di Sumatera bagian tengah, endapan fluvial yang terjadi pada fase awal
kemudian ditutupi oleh endapan danau (non-marin).[3]
Berbeda dengan yang terjadi di Kalimantan bagian tenggara dimana endapan
fluvial kemudian ditutupi oleh lapisan batu bara yang terjadi pada dataran
pantai yang kemudian ditutupi di atasnya secara transgresif oleh sedimen marin
berumur Eosen Atas.[4]
Dibawah ini
adalah kualitas rata-rata dari beberapa endapan batu bara Eosen di Indonesia.
Tambang
|
Cekungan
|
Perusahaan
|
Kadar air
total (%ar)
|
Kadar air
inheren (%ad)
|
Kadar abu
(%ad)
|
Zat
terbang (%ad)
|
Belerang
(%ad)
|
Nilai
energi (kkal/kg)(ad)
|
Satui
|
Asam-asam
|
PT Arutmin
Indonesia
|
10.00
|
7.00
|
8.00
|
41.50
|
0.80
|
6800
|
Senakin
|
Pasir
|
PT Arutmin
Indonesia
|
9.00
|
4.00
|
15.00
|
39.50
|
0.70
|
6400
|
Petangis
|
Pasir
|
PT BHP
Kendilo Coal
|
11.00
|
4.40
|
12.00
|
40.50
|
0.80
|
6700
|
Ombilin
|
Ombilin
|
PT Bukit
Asam
|
12.00
|
6.50
|
<8.00
|
36.50
|
0.50 -
0.60
|
6900
|
Parambahan
|
Ombilin
|
PT Allied
Indo Coal
|
4.00
|
-
|
10.00 (ar)
|
37.30 (ar)
|
0.50 (ar)
|
6900 (ar)
|
(ar) - as
received, (ad) - air dried, Sumber: Indonesian Coal Mining Association, 1998
ENDAPAN BATU BARA MIOSEN
Pada Miosen
Awal, pemekaran regional Tersier Bawah - Tengah pada Paparan Sunda telah
berakhir. Pada Kala Oligosen hingga Awal Miosen ini terjadi transgresi marin
pada kawasan yang luas dimana terendapkan sedimen marin klastik yang tebal dan
perselingan sekuen batugamping. Pengangkatan dan kompresi adalah kenampakan
yang umum pada tektonik Neogen di Kalimantan maupun Sumatera. Endapan batu bara
Miosen yang ekonomis terutama terdapat di Cekungan Kutai bagian bawah
(Kalimantan Timur), Cekungan Barito (Kalimantan Selatan) dan Cekungan Sumatera
bagian selatan. Batu bara Miosen juga secara ekonomis ditambang di Cekungan
Bengkulu.
Batu bara
ini umumnya terdeposisi pada lingkungan fluvial, delta dan dataran pantai yang
mirip dengan daerah pembentukan gambut saat ini di Sumatera bagian timur. Ciri
utama lainnya adalah kadar abu dan belerang yang rendah. Namun kebanyakan
sumberdaya batu bara Miosen ini tergolong sub-bituminus atau lignit sehingga
kurang ekonomis kecuali jika sangat tebal (PT Adaro) atau lokasi geografisnya
menguntungkan. Namun batu bara Miosen di beberapa lokasi juga tergolong kelas
yang tinggi seperti pada Cebakan Pinang dan Prima (PT
KPC), endapan batu bara di sekitar hilir Sungai Mahakam, Kalimantan Timur
dan beberapa lokasi di dekat Tanjungenim, Cekungan Sumatera bagian selatan.
Tabel
dibawah ini menunjukan kualitas rata-rata dari beberapa endapan batu bara
Miosen di Indonesia.
Tambang
|
Cekungan
|
Perusahaan
|
Kadar air
total (%ar)
|
Kadar air
inheren (%ad)
|
Kadar abu
(%ad)
|
Zat
terbang (%ad)
|
Belerang
(%ad)
|
Nilai
energi (kkal/kg)(ad)
|
Prima
|
Kutai
|
PT Kaltim
Prima Coal
|
9.00
|
-
|
4.00
|
39.00
|
0.50
|
6800 (ar)
|
Pinang
|
Kutai
|
PT Kaltim
Prima Coal
|
13.00
|
-
|
7.00
|
37.50
|
0.40
|
6200 (ar)
|
Roto South
|
Pasir
|
PT Kideco
Jaya Agung
|
24.00
|
-
|
3.00
|
40.00
|
0.20
|
5200 (ar)
|
Binungan
|
Tarakan
|
PT Berau
Coal
|
18.00
|
14.00
|
4.20
|
40.10
|
0.50
|
6100 (ad)
|
Lati
|
Tarakan
|
PT Berau
Coal
|
24.60
|
16.00
|
4.30
|
37.80
|
0.90
|
5800 (ad)
|
Air Laya
|
Sumatera
bagian selatan
|
PT Bukit
Asam
|
24.00
|
-
|
5.30
|
34.60
|
0.49
|
5300 (ad)
|
Paringin
|
Barito
|
PT Adaro
|
24.00
|
18.00
|
4.00
|
40.00
|
0.10
|
5950 (ad)
|
(ar) - as
received, (ad) - air dried, Sumber: Indonesian Coal Mining Association, 1998
SUMBERDAYA BATU BARA
Potensi
sumberdaya batu bara di Indonesia sangat melimpah, terutama di Pulau Kalimantan
dan Pulau Sumatera,
sedangkan di daerah lainnya dapat dijumpai batu bara walaupun dalam jumlah
kecil dan belum dapat ditentukan keekonomisannya, seperti di Jawa Barat,
Jawa
Tengah, Papua,
dan Sulawesi.
Badan
Geologi Nasional memperkirakan Indonesia masih memiliki 160 miliar ton cadangan
batu bara yang belum dieksplorasi. Cadangan tersebut sebagian besar berada di Kalimantan
Timur dan Sumatera Selatan. Namun upaya eksplorasi batu bara kerap terkendala
status lahan tambang. Daerah-daerah tempat cadangan batu bara sebagian besar
berada di kawasan hutan konservasi.[5]
Rata-rata produksi pertambangan batu bara di Indonesia mencapai 300 juta ton
per tahun. Dari jumlah itu, sekitar 10 persen digunakan untuk kebutuhan energi
dalam negeri, dan sebagian besar sisanya (90 persen lebih) diekspor ke luar.
Di Indonesia,
batu bara merupakan bahan bakar utama selain solar (diesel fuel)
yang telah umum digunakan pada banyak industri, dari segi ekonomis batu bara
jauh lebih hemat dibandingkan solar, dengan perbandingan sebagai berikut: Solar
Rp 0,74/kilokalori sedangkan batu bara hanya Rp 0,09/kilokalori, (berdasarkan
harga solar
industri Rp. 6.200/liter).
Dari segi
kuantitas batu bara termasuk cadangan energi fosil terpenting bagi Indonesia.
Jumlahnya sangat berlimpah, mencapai puluhan milyar ton. Jumlah ini sebenarnya
cukup untuk memasok kebutuhan energi listrik hingga ratusan tahun ke depan.
Sayangnya, Indonesia tidak mungkin membakar habis batu bara dan mengubahnya
menjadi energis listrik melalui PLTU. Selain mengotori lingkungan melalui
polutan CO2, SO2, NOx dan CxHy
cara ini dinilai kurang efisien dan kurang memberi nilai tambah tinggi.
Batu bara
sebaiknya tidak langsung dibakar, akan lebih bermakna dan efisien jika
dikonversi menjadi migas sintetis, atau bahan petrokimia lain yang bernilai
ekonomi tinggi. Dua cara yang dipertimbangkan dalam hal ini adalah likuifikasi (pencairan) dan gasifikasi
(penyubliman) batu bara.
Membakar
batu bara secara langsung (direct burning) telah dikembangkan teknologinya
secara continue, yang bertujuan untuk mencapai efisiensi pembakaran yang
maksimum, cara-cara pembakaran langsung seperti: fixed grate, chain
grate, fluidized bed, pulverized, dan lain-lain,
masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahannya.
GASIFIKASI BATU BARA
Coal
gasification adalah sebuah proses untuk mengubah batu bara padat menjadi gas
batu bara yang mudah terbakar (combustible gases), setelah proses pemurnian
gas-gas ini karbon monoksida (CO), karbon
dioksida (CO2), hidrogen (H), metan (CH4), dan nitrogen (N2)
– dapat digunakan sebagai bahan bakar. hanya menggunakan udara dan uap air
sebagai reacting-gas kemudian menghasilkan water gas atau coal gas, gasifikasi
secara nyata mempunyai tingkat emisi udara, kotoran padat dan limbah terendah.
Tetapi, batu
bara bukanlah bahan bakar yang sempurna. Terikat di dalamnya adalah sulfur dan
nitrogen, bila batu bara ini terbakar kotoran-kotoran ini akan dilepaskan ke
udara, bila mengapung di udara zat kimia ini dapat menggabung dengan uap air
(seperti contoh kabut) dan tetesan yang jatuh ke tanah seburuk bentuk asam
sulfurik dan nitrit, disebut sebagai "hujan asam" “acid rain”. Disini juga ada
noda mineral kecil, termasuk kotoran yang umum tercampur dengan batu bara,
partikel kecil ini tidak terbakar dan membuat debu yang tertinggal di coal
combustor, beberapa partikel kecil ini juga tertangkap di putaran combustion
gases bersama dengan uap air, dari asap yang keluar dari cerobong beberapa
partikel kecil ini adalah sangat kecil setara dengan rambut manusia.
BAGAIMANA MEMBUAT BATU BARA BERSIH
Ada beberapa
cara. Contoh sulfur, sulfur adalah zat kimia kekuningan yang ada sedikit di
batu bara, pada beberapa batu bara yang ditemukan di Ohio, Pennsylvania, West
Virginia dan eastern states lainnya, sulfur terdiri dari 3 sampai 10 %
dari berat batu bara, beberapa batu bara yang ditemukan di Wyoming, Montana dan
negara-negara bagian sebelah barat lainnya sulfur hanya sekitar 1/100ths (lebih
kecil dari 1%) dari berat batu bara. Penting bahwa sebagian besar sulfur ini
dibuang sbelum mencapai cerobong asap.
Satu cara
untuk membersihkan batu bara adalah dengan cara mudah memecah batu bara ke
bongkahan yang lebih kecil dan mencucinya. Beberapa sulfur yang ada sebagai
bintik kecil di batu bara disebut sebagai "pyritic sulfur " karena
ini dikombinasikan dengan besi menjadi bentuk iron pyrite, selain itu dikenal
sebagai "fool's gold” dapat dipisahkan dari batu bara. Secara khusus pada
proses satu kali, bongkahan batu bara dimasukkan ke dalam tangki besar yang
terisi air , batu bara mengambang ke permukaan ketika kotoran sulfur tenggelam.
Fasilitas pencucian ini dinamakan "coal preparation plants" yang
membersihkan batu bara dari pengotor-pengotornya.
Tidak semua
sulfur bisa dibersihkan dengan cara ini, bagaimanapun sulfur pada batu bara
adalah secara kimia benar-benar terikat dengan molekul karbonnya, tipe sulfur
ini disebut "organic sulfur," dan pencucian tak akan
menghilangkannya. Beberapa proses telah dicoba untuk mencampur batu bara dengan
bahan kimia yang membebaskan sulfur pergi dari molekul batu bara, tetapi
kebanyakan proses ini sudah terbukti terlalu mahal, ilmuan masih bekerja untuk
mengurangi biaya dari prose pencucian kimia ini.
Kebanyakan
pembangkit tenaga listrik modern dan semua fasilitas yang dibangun setelah 1978
— telah diwajibkan untuk mempunyai alat khusus yang dipasang untuk membuang
sulfur dari gas hasil pembakaran batu bara sebelum gas ini naik menuju cerobong
asap. Alat ini sebenarnya adalah "flue gas desulfurization units,"
tetapi banyak orang menyebutnya "scrubbers" — karena mereka men-scrub
(menggosok) sulfur keluar dari asap yang dikeluarkan oleh tungku pembakar batu
bara.
MEMBUANG NOX DARI BATU BARA
Nitrogen
secara umum adalah bagian yang besar dari pada udara yang dihirup, pada
kenyataannya 80% dari udara adalah nitrogen, secara normal atom-atom nitrogen
mengambang terikat satu sama lainnya seperti pasangan kimia, tetapi ketika
udara dipanaskan seperti pada nyala api boiler (3000 F=1648 C), atom nitrogen
ini terpecah dan terikat dengan oksigen, bentuk ini sebagai nitrogen oksida
atau kadang kala itu disebut sebagai NOx. NOx juga dapat dibentuk dari atom
nitrogen yang terjebak di dalam batu bara.
Di udara,
NOx adalah polutan yang dapat menyebabkan kabut coklat yang kabur yang kadang
kala terlihat di seputar kota besar, juga sebagai polusi yang membentuk “acid
rain” (hujan asam), dan dapat membantu terbentuknya sesuatu yang disebut
“ground level ozone”, tipe lain dari pada polusi yang dapat membuat kotornya
udara.
Salah satu
cara terbaik untuk mengurangi NOx adalah menghindari dari bentukan asalnya,
beberapa cara telah ditemukan untuk membakar batu bara di pemabakar dimana ada
lebih banyak bahan bakar dari pada udara di ruang pembakaran yang terpanas. Di
bawah kondisi ini kebanyakan oksigen terkombinasikan dengan bahan bakar
daripada dengan nitrogen. Campuran pembakaran kemudian dikirim ke ruang
pembakaran yang kedua dimana terdapat proses yang mirip berulang-ulang sampai
semua bahan bakar habis terbakar. Konsep ini disebut "staged
combustion" karena batu bara dibakar secara bertahap. Kadang disebut juga
sebagai "low-NOx burners" dan telah dikembangkan sehingga dapat
mengurangi kangdungan Nox yang terlepas di uadara lebih dari separuh. Ada juga
teknologi baru yang bekerja seperti "scubbers" yang membersihkan NOX
dari flue gases (asap) dari boiler batu bara. Beberapa dari alat ini
menggunakan bahan kimia khusus yang disebut katalis yang mengurai bagian NOx
menjadi gas yang tidak berpolusi, walaupun alat ini lebih mahal dari
"low-NOx burners," namun dapat menekan lebih dari 90% polusi Nox.