PNBP BERSUMBER DANA RETRIBUSI PENGGUNAAN
KAWASAN HUTAN NEGARA UNTUK USAHA
PERTAMBANGAN: KONTROVERSI
PP NO.2 TH 2008 *)
Oleh: Sofyan P.Warsito **)
Pendahuluan
Sudah
relatif lama kontroversi penambangan di kawasan hutan negara muncul di tengah masyarakat,
berkenaan dengan kekhawatiran dampak kerusakan ekosistem hutan yang
ditimbulkannya. Namun, sebelum kontroversi itu selesai dipertemukan, terbitlah
PP Nomor 2 tahun 2008 yang meningkatkan kualitas kontroversi tersebut kearah
yang lebih tajam. Penulis yakin bahwa semua perdebatan dalam masalah ini, adalah
berlatar belakang kecintaan dan keinginan semua fihak untuk meningkatkan
kesejahteraan bangsa melalui sektor perekonomian. Dalam keadaan ekstrim, antar
fihak saling tuduh sebagai yang ego sektoral, sampai bisa dikatakan lupa bahwa
semuanya adalah sama-sama memiliki negara yang sama. Seperti pernah dikatakan
oleh para filosof, bahwa perbedaan pendapat itu pada umumnya adalah terjadi
dikarenakan oleh perbedaan asumsi yang mendasarinya. Paper ini berusaha untuk menyampaikan
pendapat dari sisi akademik, dengan harapan akan bisa mampu menjadi bahan
pertimbangan bagi para fihak yang berkepentingan terhadap kelestarian
perekonomian (sustainable economy)
bangsa dilihat dari dua sektor yakni sektor Kehutanan dan sektor Pertambangan.
Hutan Negara adalah Aktiva Milik Bersama (Milik Publik)
Hutan
Negara adalah aktiva milik publik yang dimandatkan kepada Pemerintah, yang
kemudian dimandatkan kepada Departemen Kehutanan untuk mengelolanya. Jadi,
Hutan Negara adalah bukan milik Departemen Kehutanan. Kenapa disebut sebagai
milik publik (public property) adalah
dikarenakan hutan (baik Hutan Lindung maupun Hutan Produksi) dalam hal fungsi utamanya yang
----------------------------------------
*) Paper didiskusikan
dalam Lokakarya Mengurai Kontroversi Pinjam Pakai Kawasan Hutan dalam
Pembangunan Berkelanjutan. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian RI. Bogor 5 Agustus 2005
**) Dr.Ir. Sofyan
P.Warsito, Staf Pengajar Fakultas Kehutanan UGM Laboratorium Ekonomi Sumber
Daya Hutan.
adalah merupakan
salah satu komponen keseimbangan ekosistem, yang mampu
mempengaruhi kualitas kehidupan manusia termasuk kelestarian perekonomian. Harus diakui bahwa memang terdapat
kesalahan definisi dalam UU-41 Tahun 1999 yang mengatakan bahwa Hutan Produksi
adalah hutan yang berfungsi pokok produksi (kayu), semestinya harus disebutkan
bahwa Hutan Produksi adalah hutan yang apabila dikelola dengan baik, mampu (bukan berfungsi pokok) menghasilkan produksi kayu secara lestari
(sustainable).
Deklarasi
Stockholm tahun 1970 tentang sustainable economic development (SED) antara lain
menyatakan bahwa variabel lingkungan
tidak lagi berada di luar sistem perekonomian (exogenous variable)
melainkan adalah merupakan variabel endogen (endogenous variable).
Artinya bahwa pembangunan ekonomi akan gagal apabila terjadi gangguan ekosistem (lingkungan). Juga berarti
bahwa terminologi ekonomi sudah mencakup faktor lingkungan. Kehancuran ekosistem, akan berdampak kerugian ekonomi yang
memerlukan dana dana pemerintah maupun masyarakat untuk pemulihannya (yang
kadang bisa sulit untuk dipulihkan). Dalam musim hujan (banjir) maupun kemarau
(kekeringan), akhir-akhir ini sudah selalu dihitung nilai ekonomi kerugian yang
diakibatkannya.
Memang
dari hutan sering di hitung-hitung sumbangan pendapatan sektor kehutanan dalam
bentuk uang kontan (cash income),
namun sebenarnya nilainya akan sangat-sangat rendah dibandingkan dengan
sumbangan nilai ekonomi yang diberikan kepada perekonomian melalui ujudnya
sebagai stok atau deposit (tegakan) hutan, yang menurut penelitian IPB hanya
sekitar 5 persen saja dari nilai finansial arus (flow) produksi kayu yang bisa dihasilkannya. Oleh karena itu,
membandingkan indikator nilai profitabilitas finansial (komersial) yang bisa
dihasilkan tegakan hutan dengan profitabilitas komersial yang dihasilkan sektor
lain (seperti produk pertanian dan perkebunan), untuk pengambilan keputusan
konversi hutan ke usaha lain (pertambangan, perkebunan dsb) adalah
sangat-sangat tidak bijaksana. Pemilihan apakah suatu tegakan hutan tetap
terpelihara sebagai hutan atau perlu dikonversi ke sektor lain, mutlak harus
didasarkan pada Nilai Ekonomi Total (Total
Economic Value atau TEV) yang
disumbangkan tegakan hutan terkait, dengan nilai TEV untuk bisnis usaha
alternatif sektor-sektor bisnis non Kehutanan.
Penerimaan Negara bagi Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan
Terminologi
Penerimaan Negara (termasuk PNBP) mungkin perlu diperjelas lagi agar orang awam
lebih mengerti arti dan tujuannya. Apakah yang dimaksud dengan Penerimaan Negara
(PN) adalah diartikan sebagai seluruh jenis dana yang diterima pemerintah (revenue), atau hanya penerimaan yang
bisa masuk ke dalam terminologi penghasilan (Penghasilan (Income) Negara). Mungkin, yang dimaksud adalah Penerimaan dalam
arti yang pertama, yakni seluruh jenis penerimaan Pemerintah. Kalau tafsiran
ini benar maka, tinggal klasifikasi penggunaan PN itu bagi pengelolaan negara
ini, yakni bahwa tidak seluruh PN adalah Penghasilan Pemerintah, melainkan ada
yang bisa digunakan untuk belanja negara yang bersifat rutin (belanja umum
termasuk konsumsi) dan ada pula jenis penerimaan yang hanya boleh digunakan
bagi kelangsungan kegiatan pembangunan di sektor penghasil dana PN itu.
Diantara jenis
PN yang hanya boleh digunakan bagi kegiatan yang berhubungan dengan pelestarian
aktiva negara (termasuk aktiva negara yang berupa hutan), adalah penerimaan
negara yang oleh para ahli ekonomi disebut sebagai jenis Dana Cadangan
Depresiasi (DCD). Dana Reboisasi (DR) misalnya adalah merupakan DCD untuk
keperluan replacement aktiva hutan
alam penyedia DR (HPH) yang bersangkutan, tidak digunakan untuk keperluan
pembangunan hutan di luar sektor hutan alam HPH (seperti sekarang digunakan
untuk kegiatan Gerhan, Hutan Tanaman Rakyat, dsb).Tanpa definisi yang demikian,
kelestarian tegakan hutan alam yang diusahakan HPH akan mengandung resiko gagal
seperti yang sudah terbukti terjadi di lapangan. Dalam prakteknya, Dana
Reboisasi kemudian kemudian berubah fungsi dengan munculnya istilah “bagi
hasil” antara pusat dan daerah penghasilnya. Mungkin pengertian “bagi hasil”
tidak dimaksudkan sebagai bagi-bagi penghasilan (income), namun penggunaan
terminologi yang keliru ini mengandung pengertian yang juga keliru dari yang
semestinya.
Contoh sejenis
di sektor Pertambangan adalah adanya DCD yang berupa Dana Reklamasi untuk bekas
tambang. Apabila areal pertambangan berada di dalam kawasan Hutan Negara, DCD
digunakan untuk mereklamasi bentang alam yang ditambang, termasuk reklamasi
tegakan hutan yang semula ada di areal yang bersangkutan. Kalau kondisi lahan
kawasan Hutan Negara sebelum digunakan untuk ekstraksi barang tambang adalah
berupa lahan kosong, rusak, semak belukar, bertegakan tak produktif (tanah
kosong), Dana Reklamasi digunakan untuk pembangunan tegakan hutan ybs. Penulis
belum jelas oleh siapa Dana Reklamasi Tambang ini dikumpulkan dan digunakan.
Jelaslah
kiranya bahwa penggunaan dana PNBP harus dipisahkan dari (a) yang bisa untuk kepentingan
konsumsi (rutin) dan (b) untuk kepentingan replacement bagi kelestarian aktiva
negara, agar kinerja manfaat sumber daya alam bagi bangsa tidak menurun di masa
berikutnya. Hicks (1947) menyampaikan dalil tentang penghasilan lestari (sustainable income) yang adalah bagian penerimaan yang maksimum bisa untuk
pengeluaran konsumsi sedemikian sehingga penghasilan berikutnya tidak menurun.
Dalil ini dalam tahun 1970 di Stockholm dideklarasikan World Bank (Brundtland
Comission) sebagai salah satu prinsip sustainable
economic development (SED). Dengan SED-lah kemudian dikenalkan terminologi
DCD Sumber Daya Alam itu. Dalam arti yang lebih luas lagi, deklarasi SED
tersebut menempatkan penghasilan total Pemerintah dari sektor pertambangan
masuk ke dalam pengertian Depresiasi
Sumber Daya Alam Tak Terbarukan yang tidak boleh digunakan untuk belanja konsumsi
rutin secara langsung, melainkan hanya boleh digunakan bagi pembelian
barang-barang kapital. Dengan kata lain, penghasilan Pemerintah dari sektor pertambangan
harus digunakan khusus bagi modal transformasi ke kegiatan sustainable
activities. Dalam perhitungan Pendapatan Nasional oleh BPS menyediakan data
keduanya, yakni PDB yang mencakup BBM (tambang) dan PDB non Tambang, yang
secara tak langsung terdapat pengakuan bahwa pendapatan dari sektor
pertambangan adalah bukan penghasilan untuk bisa digunakan bagi pembelanjaan
rutin.
Kasus
PP nomor 2 Tahun 2008
PP nomor 2
tahun 2008 mengandung resiko kesalahan sejak dari judulnya. Kesalahan pertama
adalah berupa naskah judul PP yang berbunyi: Peraturan Pemerintah tentang Jenis
PNBP yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan
di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan. Pertama,
terminologi penggunaan kawasan hutan
untuk kegiatan pertambangan adalah suatu penghalusan (eufemisme) kata terhadap terminologi
perusakan hutan, karena kegiatan
penambangan harus mengubah total bentang alam seluas areal penambangan,
terkecuali apabila pengusaha mampu melaksanakan kegiatan penambangan tertutup (closed
mining) seperti yang penulis dengar pada usaha pertambangan batu bara
di Sawahlungo yang mengusahakan tidak merusak tegakan dan topografi lahan.
Kedua
adalah bahwa kalimat yang digunakan untuk judul PP tersebut menimbulkan kesan bahwa
seolah-olah peran sektor Kehutanan adalah terlalu rendah dalam sumbangannya
kepada Penerimaan Negara, sehingga memerlukan lagi sumber dana dari sumber yang
sebenarnya adalah milik negara juga (bukan milik Departemen Kehutanan) juga.
Kiranya sudah diketahui, bahwa sumbangan sektor Kehutanan dalam perolehan
penerimaan dana kontan (cash) dari sektor Kehutanan selama ini kepada
Pemerintah, adalah bukan hanya dari PNBP (PSDH) saja tetapi juga dari
pajak-pajak (pajak penghasilan unit-unit perusahaan maupun pajak-pajak dari
nilai input tenaga kerja dan pajak-pajak yang ditimbulkan oleh pembelian faktor
produksi lainnya.
Ketiga, adalah menyangkut koherensi (konsistensi) antara naskah
Utama PP dengan naskah yang termuat dalam naskah Lampiran Penjelasan. Pada
naskah utama, dapat ditafsirkan bahwa yang menjadi obyek peraturan adalah PNBP
dari sektor Pertambangan tidak menyangkut nilai kerusakan ekosistem dan
dampaknya bagi perekonomian masyarakat yang diakibafkan oleh kegiatan
penambangan. Namun, dalam Penjelasan PP ini menyebutkan bahwa retribusi PNBP penggunaan
kawasan hutan adalah dipungut dikarenakan
adanya kerusakan hutan. Uraian penjelasan yang termuat dalam pada butir I
(Umum) menyatakan bahwa:
“,,,,,,,,,,,,
Sumber Daya Hutan
berfungsi sebagai penyangga kehidupan manusia melalui berbagai fungsinya.
Hilangnya fungsi hutan mengakibatkan bencana seperti banjir dan kekeringan…dst.
Oleh karena itu sumber daya hutan merupakan subyek maupun obyek sekaligus
sebagai subyek pembangunan yang sangat strategis.
Lebih lanjut
bisa dibaca pada alinea keduanya, yang mengatakan bahwa Penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar
kegiatan kehutanan belum sepenuhnya memberikan penghargaan terhadap nilai
manfaat hutan yang hilang. Nilai manfaat hutan ini antara lain kompensasinya
adalah dalam bentuk lahan kompensasi, tetapi lahan kompensasi sulit diperoleh. Oleh karena itu diperlukan suatu nilai
pengganti terhadap lahan kompensasi.
Untaian kalimat
yang digunakan tersebut tentu menyiratkan pengertian bahwa pegenaan retribusi
yang diatur dalam PP adalah digunakan untuk kompensasi nilai ekonomi yang
hilang oleh kegiatan perusakan hutan oleh sektor usaha non kehutanan yang menggunakannya,
yang tentunya harus digunakan untuk replacement
tegakan hutan yang rusak. Padahal PNBP yang diatur oleh naskah utama PP tidak
dimaksudkan untuk dikhususkan bagi pemulihan kerusakan hutan yang
ditimbulkannya. Jadi antara Penjelasan PP dengan maksud dan tujuan PP tidak
konsisten (koheren). Padahal Lampiran PP yang berupa Penjelasan adalah juga
merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari PP tersebut. Oleh karena itu,
uraian dalam Penjelasan dalam Bab I (Umum) mutlak harus direvisi.
Penulis
berpendapat, bahwa oleh karena itu retribusi bagi PNBP yang dipungut dari
sektor usaha tambang, tidak harus dipermasalahkan tentang kecukupan (apakah
yang masih kurang besar, atau sudah cukup, atau terlalu besar) tingkat tarif
yang dikenakan Pemerintah, karena norma retribusi yang dikenakan adalah bukan
kriteria bagi nilai penggantian nilai kerusakan hutan yang diakibatkan oleh
penggunaan kawasan hutan oleh sektor non kehutanan.
Dana Reklamasi dan Dana
Eksternalitas Penambangan
Dari uraian
tersebut di muka, dapalah kiranya ditarik pelajaran bahwa yang justru harus
didiskusikan para fihak, adalah justru dalam hal Dana Reklamasi, serta (seharusnya
ada pungutan) sebagai pengganti nilai ekonomi Eksternalitas Negatif yang
ditumbulkan oleh kegiatan pertambangan. Nilai eksternalitas negatif ini harus
di hitung yang tentunya berbeda-beda untuk setiap lokasi areal penambangan.
Nilai eksternalitas ini tentunya sangat besar, yang memungkinkan suatu
penambangan bisa saja tidak layak untuk diusahakan, dikarenakan misalnya
apabila harga pasar produk tambang tidak mampu menutup biaya total ekonomi (Total Economic Value) yang diperlukan.
Apabila demikian, maka produk taambang di yang berasal dari penggunaan kawasan
hutan tersebut semestinya adalah harus lebih tinggi daripada harga pasar.
Dana
Reklamasi adalah dana yang digunakan untuk kepentingan pemulihan bentang alam
(termasuk hutan) yang rusak oleh kegiatan penambangan. Nilai Dana Reklamasi
tentunya tidak harus sama untuk setiap lokasi areal tambang. Bagi kegiatan
penambangan yang ada di kawasan hutan bernilai (harga) stok tegakan tinggi
tentunya Dana Reklamasi yang dipungut adalah setinggi nilai tegakan ybs, tidak
sama besarnya apabila kawasan hutan yang digunakan adalah bertegakan hutan
bernilai rendah. Reklamasi semestinya mencakup seluruh biaya yang diperlukan
untuk bisa mencapai terbentuknya hutan seperti semula, yang akan relatif sangat
sangat besar apabila nilai ekonomi
tegakannya adalah juga tinggi yang akan memperbesar pungutan Dana Reklamasi
yang harus disediakan apabila penambangan dillaksanakan di kawasan Hutan
Lindung. Lebih jauh lagi, dana yang diperoleh dari harga pasar kayu yang
diperoleh dari kegiatan penambangan, sebenarnya adalah harus disetor kepada Negara
(dalam pos PNBP) sepenuhnya (tidak ada IPK bagi kegiatan Pertambangan) karena
pembongkaran tegakan hutan adalah bukan merupakan hasil penambangan, melainkan
adalah merupakan biaya penambangan.
Kesimpulan
1.
PNPB
yang diatur dalam PP nomor 2 tahun 2008, tidak ada kaitannya dengan nilai
kerusakan hutan. Oleh karena itu tidak diperlukan keberatan tentang besar tarif
PNBP ini ditinjaui dari sisi nilai kerusakan hutan oleh kegiatan penambangan.
Nilai Ekonomi Kerusakan Hutan dan
nilai ekonomi dampak Penambangan
(eksternalitas negatif) yang harus dibayar oleh setiap usaha penambangan harus
diatur tersendiri.
2.
Nilai
PNBP dari usaha pertambangan bisa mencakup pungutan sebesar nilai pasar kayu
yang tertebang oleh kegiatan penambangan. Tidak dibernarkan adanya IPK di
sektor usaha penambangan, karena kayu yang tertebang dari pembongkaran tegakan
hutan bukan merupakan pendapatan penambangan.
3.
PP
nomor 2 tahun 2008 diperlukan revisi terutama dalam hal konsistensi antara
Naskah Utama dengan naskah Penjelasannya (terutama untuk bab I Penjelasan).
Revisi juga diperlukan untuk jenis tarif L3 yang lebih rendah dari tarif L2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar