PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT
RANCANGAN
PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT
NOMOR TAHUN 2012
TENTANG
SINKRONISASI PENGGUNAAN LAHAN
UNTUK KEGIATAN USAHA
PERTAMBANGAN DENGAN KEGIATAN
USAHA SEKTOR LAIN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR KALIMANTAN BARAT,
Menimbang
|
:
|
a.
|
bahwa Mineral dan
Batubara merupakan Sumber Daya Alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa yang keberadaannya dikuasai dan diatur oleh Negara. Oleh karena itu
perlu dimanfaatkan secara optimal untuk pembangunan perekonomian nasional, daerah
dan kesejahteraan masyarakat;
|
b.
|
bahwa Mineral dan
Batubara merupakan komoditas tambang yang vital dan strategis yang
keberadaannya tidak dapat dipindahkan, sehingga perlu mendapatkan prioritas
dalam pemanfaatannya.
|
||
c.
|
bahwa kegiatan
usaha pertambangan mineral dan batubara memegang peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah
dan nasional secara berkelanjutan;
|
||
d.
|
bahwa pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan akhir-akhir ini menghadapi
hambatan akibat pada lokasi lahan yang diizinkan terdapat perizinan sektor
lain; sehingga perlu dilakukan sinkronisasi dalam pelaksanaan penggunaan
lahan yang diatur dalam Peraturan Daerah;
|
||
e.
|
bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, perlu membentuk
Peraturan Daerah tentang Sinkronisasi Penggunaan Lahan untuk Kegiatan Usaha
Pertambangan dengan Kegiatan Usaha Sektor Lain;
|
||
Mengingat
|
:
|
1.
|
Pasal
18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
2.
|
Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-daerah Otonom Provinsi Kalimantan
Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1956 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 1106);
|
||
3.
|
Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2043);
|
4.
|
Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
|
||
5.
|
Undang-Undang Nomor
6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647);
|
||
6
|
UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Anti
Monopoli (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817);
|
||
7.
|
Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3872);
|
||
8.
|
Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401);
|
||
9.
|
Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411);
|
||
10.
|
Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4421);
|
||
11.
|
Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang
Perikanan (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara
RI Nomor 5073);
|
||
12.
|
Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
|
||
13.
|
Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemeritah Pusat dan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
|
14.
|
Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
|
||
15.
|
Undang Undang Nomor
27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4739);
|
||
16.
|
Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4959);
|
||
17.
|
Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
|
||
18.
|
Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5068);
|
||
19.
|
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5234 );
|
||
20.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1996 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3643 );
|
||
21.
|
Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5285);
|
||
22.
|
Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4696);
|
||
23.
|
Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
|
||
24.
|
Peraturan Pemerintah Nomor
26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4833);
|
||
25.
|
Peraturan Pemerintah Nomor
22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5110);
|
26.
|
Peraturan Pemerintah Nomor
23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5111);
|
||
27.
|
Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5112);
|
||
28.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 85,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5124);
|
||
29.
|
Peraturan Pemerintah 78 Tahun 2010 tentang
reklamasi dan Pasca Tambang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5172);
|
||
30.
|
Peraturan Presiden
Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan
Peraturan Perundang-undangan;
|
||
31.
|
Peraturan Presiden
Nomor 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan
Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah;
|
||
32.
|
Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990
tentang Kawasan Lindung;
|
||
33.
|
Peraturan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menhut-II/2010 tanggal 31 Desember
2010 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Dalam Hutan Alam, IUPHHK Restorasi
Ekosistem, atau IUPHHK Hutan Tanaman Industri pada Hutan Produksi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 705);
|
||
34.
|
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53
Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 694);
|
||
35.
|
Peraturan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia Nomor P.14/Menhut-II/2011 tentang Izin Pemanfaatan Kayu (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 142);
|
||
36.
|
Peraturan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam
Pakai Kawasan Hutan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 191);
|
||
37.
|
Peraturan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012 tetang Peningkatan Nilai Tambah Melalui
Pengolahan dan Pemurnian Mineral (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 165); sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2012 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 534);
|
||
38.
|
Peraturan Daerah Provinsi
Kalimantan Barat Nomor 5 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Kalimantan Barat (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Tahun
2004 Nomor 9 Seri D Nomor 7);
|
39.
|
Peraturan Daerah Provinsi
Kalimantan Barat Nomor 7 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah Tahun 2007 – 2027 (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat
Tahun 2008 Nomor Tambahan Lembaran
Daerah Nomor ;
|
||
40.
|
Peraturan Daerah Provinsi
Kalimantan Barat Nomor 9 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi
Kewenangan Provinsi Kalimantan Barat (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008 Nomor 9, Tambahan Lembaran
Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor
7);
|
||
41.
|
Peraturan Daerah Provinsi
Kalimantan Barat Nomor 10 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi Perangkat
Daerah Provinsi Kalimantan Barat, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Daerah Nomor 7 Tahun 2010 (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Tahun
2010 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 4);
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT
dan
GUBERNUR KALIMANTAN BARAT
MEMUTUSKAN :
Menetapkan
|
:
|
RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG SINKRONISASI PENGGUNAAN LAHAN UNTUK KEGIATAN
USAHA PERTAMBANGAN DENGAN KEGIATAN
USAHA SEKTOR LAIN.
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1.
|
Provinsi adalah Provinsi
Kalimantan Barat.
|
2.
|
Pemerintah
Daerah adalah Gubernur dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah Provinsi Kalimantan Barat.
|
3.
|
Kabupaten/Kota
adalah Kabupaten/Kota dalam Provinsi Kalimantan Barat.
|
4.
|
Gubernur
adalah Gubernur Kalimantan Barat.
|
5.
|
Bupati/Walikota adalah
Bupati/Walikota se Provinsi Kalimantan Barat.
|
6.
|
Perangkat
daerah adalah perangkat Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas Sekretariat Daerah, Dinas Daerah,
Badan dan atau Lembaga Teknis.
|
7.
|
Pejabat yang berwenang adalah Menteri, Gubernur dan Bupati yang diberikan Kewenangan berdasarkan
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku untuk menerbitkan/ memberikan Izin
pemanfaatan Sumber Daya Alam.
|
8.
|
Sinkronisasi
adalah penyelarasan dan penyelerasian Penggunaan lahan oleh 2
(dua) atau lebih pemegang izin
usaha pemanfaatan sumber daya alam yang berbeda jenis usahanya.
|
9.
|
Sumber
Daya Alam yang
selanjutnya disingkat (SDA), adalah segala kekayaan alam yang terdapat
diatas, dipermukaan, dan didalam bumi seperti mineral, batubara, hutan, air,
tanah, ikan, kebun, dan lain-lain.
|
10.
|
Pertambangan
adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,
pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan
umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan
pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.
|
11.
|
Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki
sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya
yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.
|
12.
|
Batubara
adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari
sisa tumbuh-tumbuhan.
|
13.
|
Pertambangan
Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan,
di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.
|
14.
|
Pertambangan
Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi,
termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.
|
15.
|
Usaha
pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara
yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi
kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan
dan penjualan, serta pasca tambang.
|
16.
|
Tambang Terbuka adalah
kegiatan tambang yang aktifitasnya berhubungan langsung dengan bukaan yang
dibuat dipermukaan tanah, bertujuan untuk mengambil bahan galian mineral dan
atau batubara.
|
17.
|
Tambang bawah tanah adalah
metode penambangan yang segala kegiatan atau aktivitas penambangannya
dilakukan dibawah permukaan bumi, dan tempat kerjannya tidak langsung berhubungan dengan udara luar.
|
18.
|
Izin Usaha
Pertambangan yang selanjutnya disingkat IUP, adalah izin untuk melaksanakan
usaha pertambangan.
|
19.
|
Izin Usaha Pertambangan Khusus yang
selanjutnya disingkat IUPK, adalah izin untuk melaksankan usaha pertambangan
di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
|
20.
|
Izin Usaha
Pertambangan Eksplorasi yang selanjutnya disingkat IUP Eksplorasi adalah izin
usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi, dan studi kelayakan.
|
21.
|
Izin Usaha
Pertambangan Operasi Produksi yang selanjutnya disingkat IUP Operasi Produksi
adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan Izin Usaha
Pertambangan Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.
|
22.
|
Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman
tertentu pada tanah dan/ atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang
sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut,
dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen
untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.
|
23.
|
Izin Usaha Perkebunan adalah izin usaha
yang diberikan untuk usaha
perkebunan yang terdiri
atas budi daya tanaman perkebunan dan/atau usaha industri pengolahan hasil
perkebunan.
|
24.
|
Lahan adalah bagian daratan
dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah
beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief,
aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat
pengaruh manusia.
|
25.
|
Penggunaan lahan adalah pemanfaatan lahan untuk
melaksanakan berbagai kegiatan usaha.
|
26.
|
Hutan
adalah suatu ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati
yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan, termasuk hutan rawa.
|
27.
|
Kehutanan adalah sistem pengurusan
yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang
diselenggarakan secara terpadu.
|
28.
|
Kawasan adalah daerah yang memiliki ciri khas tertentu atau berdasarkan
pengelompokan fungsional kegiatan tertentu.
|
29.
|
Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan
tetap.
|
30.
|
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
pada Hutan Tanaman Industri, yang selanjutnya disingkat
IUPHHK-HTI adalah Izin untuk memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya
terdiri dari penyiapan lahan, pembenihan atau pembibitan, penanaman,
pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau penebangan, dan pemasaran hasil
hutan kayu.
|
31.
|
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada
Hutan Alam, yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HA
adalah Izin untuk memanfaat hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari pemanenan atau penebangan, penanaman,
pemeliharaan, pengamanan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan kayu.
|
32.
|
Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan
manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber
energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya.
|
33.
|
Izin Usaha Hortikultura, yang
selanjutnya disingkat IUH adalah izin usaha yang diberikan kepada pelaku
usaha yang melakukan usha budidaya hortikultura, pasca panen dan atau wisata
agro.
|
34.
|
Perikanan adalah semua
kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan
dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan
pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
|
35.
|
Masyarakat adalah keseluruhan
orang yang terdiri dari perseorangan, kelompok, maupun organisasi yang peduli
dengan sumber daya alam dan lingkungan.
|
36.
|
Wilayah Pertambangan yang
selanjutnya disingkat WP adalah wilayah yang memiliki potensi mineral
dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan
yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.
|
37.
|
Tata Ruang adalah wujud struktural
dan pola pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan maupun tidak.
|
38.
|
Pola Ruang adalah distribusi
peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk
fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.
|
39.
|
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang selanjutnya disingkat RTRWN
adalah rencana kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah Nasional.
|
40.
|
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang selanjutnya disingkat RTRWP
adalah penjabaran Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang memuat rencana
kebijakan operasional dari Rencana Tata Ruang Wilatah Nasional dan strategi
pengembangan wilayah provinsi.
|
41.
|
Rencana Zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber
daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola
ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan
tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah
memperoleh izin.
|
42.
|
Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat RTRW Kabupaten/Kota adalah
penjabaran Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang memuat ketentuan
peruntukan ruang wilayah Kabupaten/Kota.
|
43.
|
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada
Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam yang selanjutnya disingkat IUPHHK-RE
adalah Izin Usaha yang diberikan untuk membangun Kawasan dalam Hutan Alam
pada Hutan Produksi yang memiliki Ekosistem penting, sehingga dapat
mempertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan Pemeliharaan, Perlindungan,
dan Pemulihan Ekosistem Hutan termasuk Penanaman, Pengayaan, Penjarangan,
Penangkaran Satwa, Pelepaslarian Flora dan Fauna untuk mengembalikan unsur Hayati
(Frora dan Fauna) serta unsur non Hayati ( Tanah, Iklim dan Topografi ) pada
suatu Kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan Hayati
dan Ekosistemnya.
|
44.
|
Izin Pinjam Pakai Kawasan
Hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan kepada pihak
lain untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah
status, peruntukan dan fungsi kawasan tersebut.
|
45.
|
Komoditas adalah suatu objek
barang dan atau jasa yang memiliki
nilai dan dapat diperdagangkan.
|
46.
|
Izin
Usaha Sektor Lain adalah Izin Usaha Perkebunan, Surat Izin Usaha Perikanan
(SIUP), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA),
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tananaman Industri
(IUPHHK-HTI), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekpsistem
dalam Hutan Alam (IUPHHK-RE), dan izin Usaha Hortikultura (IUH).
|
BAB II
ASAS, MAKSUD, DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) Asas Peraturan Daerah ini adalah :
a. Manfaat;
b. Keadilan;
c. Keseimbangan;
d. Keberpihakan kepada kepentingan bangsa;
e. Partisipatif;
f.
Transparansi;
g. Akuntabilitas;
h. Berkelanjutan; dan
i.
Berwawasan
lingkungan.
(2) Maksud Peraturan Daerah ini adalah memberikan
pedoman penggunaan lahan dalam pelaksanaan pemanfaatan Sumber Daya Alam
khususnya kegiatan usaha Pertambangan dengan kegiatan usaha sektor
lainnya.
Pasal 3
Tujuan Peraturan Daerah ini adalah :
a.
mencegah dan/atau mengurangi terjadinya konflik penggunaan lahan dalam
pelaksanaan pemanfaatan SDA, khususnya untuk kegiatan usaha
pertambangan dengan kegiatan usaha sektor lainnya;
b.
terwujudnya pemanfaatan semua potensi SDA seperti Pertambangan, Perkebunan,
Kehutanan, Perikanan, Pertanian dan lain-lain secara optimal dan berkelanjutan;
c.
terciptanya iklim investasi yang kondusif dan berkembang;
d.
meningkatkan
pertumbuhan perekonomian daerah dan nasional.
BAB III
PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM
Pasal 4
(1) Semua Potensi SDA seperti
Pertambangan, Kehutanan, Perkebunan,
Pertanian dan Perikanan yang berada
dalam wilayah Provinsi Kalimantan Barat harus dimanfaatkan secara optimal untuk
meningkatkan pembangunan perekonomian Daerah dan Nasional.
(2)
Pemanfaatan
Potensi SDA tersebut pada ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan pengelolaan
yang berkelanjutan dan dengan memperhatikan prinsip pengelolaan Lingkungan
Hidup yang baik dan benar sesuai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Pemanfaatan
Potensi SDA sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan setelah
memperoleh Izin dari pejabat yg berwenang.
Pasal 5
Izin pemanfaatan potensi SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) meliputi :
a.
IUP;
b.
Izin Usaha Perkebunan;
c.
Surat Izin Usaha Perikanan;
d.
IUPHHK-HTI;
e.
IUPHHK-HA;
f.
IUPHHK-RE;dan
g.
Izin Usaha Hortikultura.
Pasal 6
(1) Pemanfaatan Potensi SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus berada pada kawasan sesuai peruntukkannya
sebagaimana ditetapkan dalam rencana Pola Ruang pada RTRW.
(2) Pemanfaatan Potensi SDA
pertambangan yang kawasan peruntukannya berada pada lahan yang sama dengan
sektor lain, akan dilakukan sinkronisasi dalam kegiatan pemanfaatan lahannya.
BAB IV
PENGGUNAAN
LAHAN UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 7
(1) IUP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf a, dapat berupa IUP Eksplorasi
dan IUP Operasi Produksi.
(2) Penggunaan lahan untuk Kegiatan
IUP Eksplorasi meliputi kegiatan Penyelidikan Umum, Eksplorasi dan Studi
Kelayakan.
(3) Penggunaan lahan untuk Kegiatan
IUP Operasi Produksi meliputi
kegiatan konstruksi, penambangan, Pengolahan dan Pemurnian, serta Pengangkutan
dan Penjualan.
(4) Kegiatan Pertambangan
Operasi Produksi meliputi tambang terbuka dan tambang bawah tanah.
Pasal 8
Lahan untuk kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) dapat
digunakan untuk sementara atau selama kegiatan usaha pertambangan berlangsung, sesuai dengan izin yang
diberikan.
Pasal 9
(1) Pemegang IUP Operasi
Produksi atau IUPK Operasi Produksi Wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan
pemegang hak, termasuk hak atas tanah milik masyarakat sesuai dengan
kesepakatan kedua belah pihak atau minimal sesuai dengan patokan harga yang ditetapkan
berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Penyelesaian hak atas
tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh
pemegang IUP atau IUPK.
(3) Penyelesaian Hak atas tanah masyarakat untuk
kegiatan usaha pertambangan oleh pemegang IUP dilakukan dengan cara :
a.
Jual beli;
b.
Ganti Rugi;
c.
Sewa-menyewa; atau
d.
kesepakatan
bersama.
(4) Pemegang IUP yang telah
melaksanakan penyelesaian hak atas tanah masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dapat diberikan Hak
atas tanah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(5) Hak atas IUP dan atau IUPK
bukan merupakan Pemilikan Hak atas
Tanah.
BAB V
PENGGUNAAN LAHAN UNTUK KEGIATAN USAHA ANTAR SEKTOR
Pasal 10
(1) Apabila pada
lokasi lahan yang sama terdapat IUP dan Izin Usaha Pemanfaatan SDA lainnya yang
telah diberikan oleh Pejabat yang berwenang, dan penerbitan izin dimaksud
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka keberadaan perizinan tersebut tetap diakui.
(2) Pemanfaatan
lokasi/lahan yang sama oleh 2 (dua) pemegang izin yang berbeda jenis usahanya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan kesepakatan pemegang
izin dan/atau memperhatikan prioritas usaha.
Pasal 11
(1) Penerbitan izin
pemanfaatan SDA pada lokasi/lahan yang sama untuk 2 (dua) atau lebih jenis
usaha yang berbeda, hanya dapat diberikan untuk kegiatan usaha pemanfaatan
sumber daya pertambangan.
(2) Penerbitan izin
pemanfaatan SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah mempertimbangkan
pendapat dari pemegang izin pertama dan/atau setelah mendapat penilaian dari
Tim Terpadu.
Pasal 12
IUP dapat diberikan
prioritas untuk melakukan kegiatannya pada lokasi lahan yang sama dengan lokasi
lahan izin usaha sektor lain.
Pasal 13
(1)
Pelaksanaan
Kegiatan Izin Usaha Pemanfaatan SDA Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan secara bergantian atau beriringan berdasarkan kesepakatan tertulis
kedua belah pihak pemegang izin dan disetujui oleh Pejabat yang berwenang.
(2)
Penyelesaian perselisihan
pemanfaatan SDA pada tahap pertama diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah
untuk mufakat.
(3)
Apabila
upaya yang dilakukan oleh kedua belah pihak pemegang izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak mencapai
kesepakatan, maka pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan dengan kegiatan usaha
sektor lain ditentukan berdasarkan skala prioritas yang dinilai oleh Tim
Terpadu yang dibentuk oleh Gubernur/Bupati/Walikota.
Pasal 14
Penentuan
skala prioritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) dinilai
berdasarkan kriteria sebagai berikut :
a. bermanfaat bagi peningkatan pendapatan Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan kesejahteraan masyarakat;
b. kebutuhan pengembangan industri;
c.
valuasi potensi SDA; dan
d. visibilitas lahan.
Pasal 15
(1)
Tim terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) terdiri dari Tim Tingkat Provinsi dan Tim Tingkat Kabupaten/Kota.
(2) Tim Terpadu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri dari anggota tetap dan anggota
tidak tetap.
(3) Keikutsertaan instansi terkait dalam keanggotaan
Tim Terpadu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkat
permasalahan yang terjadi.
(4) Tim Terpadu Tingkat Provinsi melaksanakan penilaian Skala Prioritas terhadap penggunaan lahan oleh
2 (dua) atau
lebih pemegang Izin usaha
pemanfaatan SDA yang izinnya diterbitkan
oleh Gubernur.
(5) Tim Terpadu Tingkat
Kabupaten/Kota melaksanakan penilaian Skala Prioritas terhadap penggunaan lahan
oleh 2 (dua) atau
lebih pemegang Izin usaha
pemanfaatan SDA yang izinnya diterbitkan oleh Bupati/Walikota.
(6) Tim Terpadu Tingkat
Provinsi bersama Tim Terpadu Tingkat Kabupaten/Kota melaksanakan Penilaian
Skala Prioritas penggunaan lahan oleh 2 (dua) atau lebih pemegang Izin Usaha
Pemanfaatan SDA yang salah satu izinnya diterbitkan oleh Gubernur atau
Bupati/Walikota.
(7) Ketentuan lebih lanjut tentang tim terpadu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur atau
Peraturan Bupati/Walikota.
BAB VI
PENETAPAN SKALA PRIORITAS PENGGUNAAN LAHAN
Pasal 16
(1) Dalam menentukan skala
prioritas penggunaan lahan antara kegiatan Usaha Pertambangan dengan kegiatan
usaha sektor lainnya, Tim Terpadu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 harus melakukan pengkajian dan penilaian
terhadap data administrasi dan melakukan pemeriksaan/peninjauan ke lapangan
atau lokasi kegiatan.
(2) Potensi SDA
pertambangan yang sudah
layak tambang diprioritaskan dalam penggunaan lahan sepanjang telah
masuk dalam rencana kerja pemegang IUP.
(3) Lokasi lahan IUP
yang belum masuk dalam rencana kerja, untuk sementara lokasi lahannya dapat
digunakan oleh pemegang izin usaha sektor lain dalam jangka waktu
tertentu atas dasar kesepakatan kedua belah pihak.
Pasal 17
(1) Berdasarkan hasil
penilaian terhadap kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan hasil pemeriksaan/peninjauan lapangan
atau lokasi kegiatan, Tim Terpadu menentukan prioritas penggunaan lahan yang
dituangkan dalam Berita Acara dan ditandatangani oleh semua anggota Tim
Terpadu.
(2) Hasil penilaian dan
pemeriksaan/peninjauan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan
kepada Gubernur dan/atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
(3) Gubernur dan/atau
Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya menetapkan prioritas penggunaan
lahan untuk salah satu pemegang izin usaha berdasarkan laporan dan Berita Acara yang disampaikan oleh Tim Terpadu.
(4) Apabila terjadi perselisihan
antara Pemegang Izin Usaha yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota dengan
Pemegang Izin Usaha yang diterbitkan oleh Gubernur, maka skala prioritas
penggunaan lahan berdasarkan
penilaian Tim terpadu Provinsi dan Tim
terpadu Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Gubernur.
(5) Hasil penetapan prioritas
penggunaan lahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Pemegang Izin Usaha.
(6) Paling lama 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya skala
prioritas penggunaan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau ayat
(4), pemegang izin usaha
wajib melaksanakan prioritas penggunaan lahan yang telah ditetapkan.
BAB VII
PEMBERIAN KOMPENSASI ATAS
PENGGUNAAN LAHAN
Pasal 18
(1) Pemegang izin usaha yang diberikan prioritas untuk menggunakan
lahan dan melakukan kegiatan usahanya dapat memberikan kompensasi
terhadap pemegang izin usaha lainnya berdasarkan kesepakatan bersama.
(2)
Hasil
kesepakatan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
Gubernur dan/atau Bupati/Walikota.
BAB VIII
HAK
DAN KEWAJIBAN
Pasal 19
Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan SDA
mempunyai hak untuk melakukan kegiatan usahannya pada lokasi lahan yang
diizinkan oleh Pejabat yang berwenang sepanjang telah
sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini.
Pasal 20
(1) Setiap pemegang izin
usaha pemanfaatan SDA Wajib mentaati prioritas penggunaan lahan yang telah
ditetapkan oleh Gubernur dan/atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Setiap pemegang izin
usaha pemanfaatan SDA yang telah mendapatkan penetapan prioritas penggunaan
lahan wajib melaporkan perkembangan kegiatan usahanya sebagaimana diatur dalam izin
usahanya kepada Gubernur dan/atau
Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 21
(1) Dalam hal
pada lokasi lahan
yang sama terdapat
2 (dua) atau lebih pemegang izin usaha yang berbeda
jenis usahanya yang bersama-sama melakukan kegiatan usaha, maka kedua atau
lebih pemegang izin tersebut Wajib melakukan kegiatan :
a. pemberdayaan masyarakat;
b. pengelolaan lingkungan
sesuai dengan AMDAL atau UKL dan UPL
yang telah disahkan; dan
c. reklamasi terhadap lahan
yang telah selesai diusahakan oleh pemegang izin usaha pertambangan.
(2) Kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan Rencana Kerja yang dibuat oleh pemegang izin usaha dan
disahkan oleh Gubernur dan/atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
BAB IX
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 22
(1) Pemegang izin usaha yang
diberikan prioritas menggunakan lahan tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (6), maka Gubernur dan/atau Bupati/Walikota sesuai
dengan kewenangannya dapat melakukan pengurangan luas lahan izin usaha pada
lokasi yang diperselisihkan dan/atau mencabut izin usaha pemanfaatan SDA pada
lokasi tersebut.
(2) Pemegang izin usaha yang
tidak mendapat prioritas penggunaan lahan tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), maka Gubernur dan/atau
Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan pengurangan luas lahan
izin usaha pada lokasi yang diperselisihkan dan/atau mencabut izin usaha
pemanfaatan SDA pada lokasi tersebut.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
Pada saat berlakunya Peraturan Daerah ini, usaha
pemanfaatan potensi SDA pada lahan yang sama oleh 2 (dua) pemegang izin usaha
yang berbeda, paling lama 3 (tiga) tahun harus diselesaikan sesuai dengan Peraturan Daerah ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah
Provinsi Kalimantan Barat.
Ditetapkan di
Pontianak
pada tanggal 12 September 2012
GUBERNUR
KALIMANTAN BARAT,
CORNELIS
Diundangkan
di Pontianak
pada tanggal 12 September 2012
SEKRETARIS
DAERAH
PROVINSI
KALIMANTAN BARAT,
M. ZEET HAMDY ASSOVIE
LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT
TAHUN 2012 NOMOR 4
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI
KALIMANTAN BARAT
NOMOR : TAHUN 2012
TENTANG
SINKRONISASI PENGGUNAAN LAHAN
UNTUK KEGIATAN USAHA
PERTAMBANGAN DENGAN KEGIATAN
USAHA SEKTOR LAIN
I. UMUM
Provinsi Kalimantan Barat
memiliki potensi Sumber Daya Alam yang sangat besar seperti mineral, batubara,
hutan, tanah, ikan, kebun, dan tanaman pertanian yang merupakan Karunia Tuhan
Yang Maha Esa. Keberadaan potensi Sumber Daya Alam tersebut dikuasai dan diatur
oleh Negara untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat.
Salah satu potensi Sumber
Daya Alam yang memegang peranan sangat
penting, strategis dan vital adalah Sumber Daya Mineral dan Batubara. Oleh
karena itu potensi Sumber Daya Mineral dan Batubara tersebut perlu dikelola dan
dimanfaatkan secara berkelanjutan melalui peberian Izin Usaha Pertambangan
(IUP) dalam rangka mendorong pembangunan perekonomian Daerah dan Nasional.
Mengingat keterdapatan
potensi sumber daya Mineral dan Batubara tersebut berada dipermukaan dan
didalam bumi yang sifatnya menetap/tidak dapat dipindahkan, maka pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) perlu diberikan
Prioritas kesempatan untuk melakukan kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan
secara berkelanjutan pada lokasi/lahan yang diizinkan.
Secara faktual saat ini telah terjadi penerbitan izin usaha
pemanfaatan Sumber Daya Alam khususnya Sumber Daya Mineral dan Batubara pada 1
(satu) lokasi/lahan yang sama terdapat 2 (dua) izin usaha atau lebih pemegang
izin usaha pemanfaatan SDA yang berbeda
jenis usahanya antara lain :
1. Izin Usaha Pertambangan
(IUP) dan Izin usaha Perkebunan (IUP)
2.
Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Surat Izin
Usaha Perikanan (SIUP)
3.
Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha
Hortikultura (IUH)
4. Izin
Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan
anaman (IUPHHK-HT).
5.
Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA).
Memperhatikan
permasalahan tersebut diatas;
untuk menjaga Konsistensi Kebijakan Pemerintah Daerah, maka terhadap izin usaha
pemanfaatan Sumber Daya Alam khususnya Mineral dan Batubara yang telah
diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang, dan penerbitan izin tersebut sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku; keberadaan izin
tersebut harus diakui, dan kedua belah pihak pemegang izin memiliki Hak yang
sama untuk melakukan kegiatan usahanya.
Disisi
lain upaya negosiasi yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak pemegang izin
usaha untuk melakukan kegiatan pemanfaatan Sumber Daya Alam pada lahan yang
disengketakan sering tidak mencapai kesepakatan, karena salah satu pihak
mengajukan tuntutan ganti rugi yang sangat besar dan tidak sesuai dengan azas
akuntabilitas.
Dampak
dari kondisi tersebut diatas adalah para pemegang izin tidak dapat melaksanakan
kegiatan usaha pemanfaatan Sumber Daya Alam pada lokasi lahan yang diizinkan,
terjadi konflik penggunaan lahan, mengganggu iklim investasi dan pembangunan
perekonomian menjadi tidak berkembang.
Oleh
karena itu untuk mengatasi dan atau mengeliminir terjadinya
sengketa/perselisihan antara 2 (dua) pemegang izin usaha pemanfaatan Sumber
Daya alam pada 1 (satu) lokasi lahan yang sama, Pemerintah Daerah Provinsi
Kalimantan Barat perlu menetapkan kebijakan dalam menentukan Skala Prioritas
penggunaan lahan yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang “ SINKRONISASI
PENGGUNAAN LAHAN UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN DENGAN KEGIATAN USAHA SEKTOR
LAIN “.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat
(1)
Peraturan Daerah ini berazaskan :
a.
Manfaat,
keadilan dan keseimbangan
- Manfaat; dalam arti
benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur penggunaan lahan untuk
kegitan usaha pertambangan dengan kegiatan usaha sektor lain.
- Keadilan; dalam arti
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi semua pihak (masyarakat, dunia
usaha dan pemerintah)
- Keseimbangan; dalam arti
mencerminkan keseimbangan antara kepentingan individu, masyarakat, dunia usaha
dengan kepentingan bangsa dan negara.
b.
Partisipatif,
transparansi dan akuntabilitas
- Partisipatif; dalam arti
memberi kesempatan kepada masyarakat secara luas untuk memberikan masukan dalam
penetapan kebijakan pemerintah dan daerah.
- Transparansi; dalam arti
terbuka bagi masyarakat luas untuk mengetahui kebijakan pemerintah daerah.
- Akuntabilitas; dalam arti
kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah telah mempertimbangkan
aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.
c.
Berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan
- Berkelanjutan; dalam arti
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dilakukan secara lestari untuk
jangka panjang.
- Berwawasan lingkungan;
dalam arti pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan
prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang baik dan benar.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Pasal 8
Kegiatan usaha pertambangan (IUP) dilakukan sesuai
masa berlakunya izin yang telah diberikan , dengan penggunaan lahan bisa
berlaku selamanya apabila menyangkut seluruh jaringan infrastruktur tambang (
jaringan jalan, pipa, kolam pengendapan, tempat pengolahan / pemurnian, dll).
Adapun penggunaan lahan yang masa berlakunya
sementara yaitu apabila kegiatan pengambilan potensi SDA pertambangan /
kegiatan Eksploitasi/Penambangan potensi SDA Pertambangan dilakukan pada lahan
yang sudah tergambar jelas dalam bentuk blok – blok penambangan sesuai dengan
Rencana Kerja Dan Anggaran Biaya (RKAB) yang telah dibuat.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Penyelesaian hak atas tanah berdasarkan
kesepakatan bersama , apabila dilakukan dengan masyarakat pemilik lahan bisa
dilakukan antara lain dengan cara bagi hasil proporsional berdasarkan kondisi
dan jenis SDA yang akan diusahakan.
Ayat (4)
Dalam melaksanakan
penyelesaian hak atas tanah masyarakat; pemegang Izin Usaha Pertambangan harus
membuat kesepakatan bersama secara tertulis yang ditandatangani oleh kedua
belah pihak.
Penyelesaian hak atas
tanah tersebut dapat dilakukan dengan cara jual beli, ganti rugi atau
sewa-menyewa; termasuk didalamnya penyelesaian atas tanaman yang tumbuh pada
tanah tersebut.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Pemanfaatan SDA yang berada pada lokasi lahan
yang sama dengan lokasi lahan izin usaha sektor lainnya dapat terjadi antara :
a. IUP dengan Izin usaha Perkebunan;
b. IUP dengan SIUP;
c. IUP dengan IUH;
d. IUP dengan IUPHHK-HT;
e. IUP dengan IUPHHK-HA; dan
f. IUP dengan IUPHHK-RE.
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Bahwa IUP diberikan
prioritas dikarenakan potensi SDA pertambangan mempunyai kekhususan , yaitu :
a.
Sumber
daya mineral dan batubara keberadaannya menetap di dalam dan di permukaan bumi,
sehingga kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan potensi tersebut harus berada
pada lokasi lahan dimana terdapat deposit mineral dan batubara dimaksud.
b.
Sumber
daya mineral dan batubara memegang peranan yang sangat strategis dan vital.
“Strategis” mengandung
arti dapat digunakan untuk kepentingan pertahanan/keamanan negara dan atau
untuk menjamin perekonomian negara.
“Vital” mengandung arti
dapat menjamin hajat hidup orang banyak dan atau produk yang dihasilkan tidak
dapat digantikan dengan produk lain.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud “secara
bergantian” dalam pelaksanaan kegiatan usaha pemanfaatan sumberdaya alam adalah
pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dapat diberikan kesempatan untuk lebih
dahulu memanfaatkan potensi sumber daya mineral dan batubara sesuai dengan izin
yang diberikan selama jangka waktu tertentu dan setelah selesai melakukan
penambangan, lahan bekas tambang tersebut direklamasi oleh pemegang IUP dan
selanjutnya diserahkan kepada pemegang izin usaha sektor lain dan atau
sebaliknya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan tim terpadu yang dibentuk
oleh Kepala daerah adalah tim yang anggotanya terdiri dari instansi tingkat
provinsi dan atau tingkat kabupaten/kota yang bertugas melakukan penilaian
untuk menentukan skala prioritas penggunaan lahan terhadap 2 (dua) pemegang
izin usaha pada lokasi/lahan yang sama, berdasarkan surat perintah tugas dari
Gubernur dan atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan
skala prioritas dalam pasal ini adalah tingkat kepentingan yang dinilai
berdasarkan kriteria atau ukuran sebagai berikut :
a.
Manfaat
bagi peningkatan pendapatan pemerintah, pemerintah daerah dan kesejahteraan
masyarakat meliputi; besarnya kontribusi terhadap PNBP, nilai ekspor/devisa,
perdagangan, ekonomi, social, dampak lingkungan dan kesempatan kerja.
b.
Kebutuhan
pengembangan industri berdasarkan kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah
yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) meliputi perkiraan produksi
dan kebutuhan bahan baku industri.
c.
Valuasi
potensi mineral dan batubara, dihitung berdasarkan deposit yang tersedia dan
nilai jual produksinya.
d.
Visibilitas
lahan yaitu tingkat kelayakan lahan untuk melaksanakan suatu kegiatan usaha
pemanfaatan sumber daya alam.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Dalam rangka menentukan Skala
Prioritas Tim Terpadu harus melakukan pengkajian dan penilaian terhadap data
administrasi meliputi legalitas izin dan pemenuhan kewajiban sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Sedangkan
pemeriksaan/peninjauan ke lapangan/lokasi kegiatan dimaksudkan untuk mengetahui
secara fisik perkembangan kegiatan usaha yang sudah dilaksanakan oleh pemegang
izin dan atau menghimpun data-data pendukung yang ada di lokasi kegiatan.
Ayat (2)
Layak tambang sebagaimana
dimaksud dalam ayat ini adalah deposit mineral dan atau batubara yang berada
pada lokasi yang diizinkan yang secara teknis, ekonomi, dan Lingkungan dapat
diusahakan.
Sedangkan rencana kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah Rencana Kerja dan Anggaran Biaya
(RKAB) yang dibuat oleh pemegang Izin Usaha Pertambangan sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan
Mineral dan Batubara.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat
(1)
Hasil
penilaian terhadap kriteria sebagaimana dimaksud pada pasal 14 dan hasil
pemeriksaan/peninjauan lapangan atau lokasi kegiatan yang dilakukan oleh tim
terpadu harus dituangkan dalam berita acara. Berita acara tersebut juga harus
mencantumkan nama perusahaan pemegang izin usaha yang diberikan prioritas untuk
lebih dahulu menggunakan lahan.
Ayat (2)
Cukup
jelas
Ayat (3)
Laporan
dan berita acara yang dibuat oleh tim terpadu disampaikan kepada Gubernur dan
atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya melalui Kepala Dinas
Pertambangan dan Energi Provinsi dan atau Kepala Dinas yang mengurusi bidang
Pertambangan dan Energi kabupaten/kota.
Ayat (4)
Cukup
jelas
Ayat (5)
Permintaan
pendapat kepada Kepala Dinas/Badan terkait dalam rangka mempertimbangkan
penetapan skala prioritas penggunaan lahan dapat dilakukan oleh Gubernur dan
atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dengan cara tertulis, lisan atau
rapat.
Ayat (6)
Cukup
jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Kompensasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah insentif yang diberikan oleh pihak pemegang izin
usaha yang mendapat prioritas untuk menggunakan lahan lebih dahulu kepada pihak
pemegang izin usaha yang ditangguhkan penggunaan lahannya apabila ada kerugian
yang harus ditanggung.
Pemberian kompensasi tersebut harus sesuai dengan
azas akuntabilitas yaitu berdasarkan perhitungan ekonomi yang saling
menguntungkan, tidak memberatkan salah satu pihak dan dapat menciptakan iklim
investasi yang kondusif.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
TAMBAHAN
LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar