Serunya Pesta Penguburan di Tana
Toraja
Di tempat secantik Tana Toraja, tak ada yang sempat untuk
bermuram durja. Bahkan ketika kematian menghampiri. Begitu pun ketika
leher kerbau seharga ratusan juta memuntahkan darah segar akibat tebasan
belati sang tukang jagal, bukan kengerian yang menghiasi wajah,
melainkan harapan untuk mengantarkan orang yang dicinta menuju
peristirahatan terakhir.
Untuk mencapai Tana Toraja hingga saat ini masih harus melalui pintu
gerbang dari Makassar, yang kemudian dilanjutkan dengan perjalanan darat
berjarak 325 km yang ditempuh dalam waktu sekitar delapan jam.
Untungnya alam di sepanjang rute Makassar – Toraja berbaik hati
menyegarkan mata dan hati dengan keindahannya sehingga penat perjalanan
panjang agak terobati. Lamanya jarak tempuh menuju Toraja membuat
setidaknya butuh waktu lebih dari tiga hari agar bisa puas menikmati
pesona petualangan yang ditawarkan dataran tinggi yang yang sebagian
wilayahnya dihiasi gunung-gunung batu kapur ini.
Rantepao, ibukota Kabupaten Tana Toraja adalah tempat yang ideal untuk dijadikan base-camp selama mengeksplor dataran tinggi itu. Akomodasi sederhana hingga bungalow
mewah berbentuk Tongkongan (rumah adat Toraja) lengkap tersedia di kota
mungil tersebut. Hanya saja hotel-hotel tersebut jarang dilengkapi AC
karena udara di Toraja sudah dingin sehingga AC tidak lagi dibutuhkan.
Aluk Todolo, Ajaran Moyang
Secara harafiah, ‘Toraja’ berarti ‘orang-orang yang berdiam di negeri atas’, atau bisa juga diartikan sebagai wilayah pegunungan. Secara antropologi, sub ras Melayu Tua yang merupakan nenek moyang orang Toraja, konon merantau dengan perahu dan oleh nasib didamparkan di Pulau Sulawesi. Waktu yang bergulir pun kemudian menggiring mereka jauh ke dataran tinggi di pedalaman dan hidup di Tongkonan – rumah adat Toraja yang atapnya berbentuk seperti perahu (walau ada juga yang mengartikan seperti tanduk kerbau – hewan yang memiliki fungsi sosial dan ekonomis yang besar bagi masyarakat Toraja).
Secara harafiah, ‘Toraja’ berarti ‘orang-orang yang berdiam di negeri atas’, atau bisa juga diartikan sebagai wilayah pegunungan. Secara antropologi, sub ras Melayu Tua yang merupakan nenek moyang orang Toraja, konon merantau dengan perahu dan oleh nasib didamparkan di Pulau Sulawesi. Waktu yang bergulir pun kemudian menggiring mereka jauh ke dataran tinggi di pedalaman dan hidup di Tongkonan – rumah adat Toraja yang atapnya berbentuk seperti perahu (walau ada juga yang mengartikan seperti tanduk kerbau – hewan yang memiliki fungsi sosial dan ekonomis yang besar bagi masyarakat Toraja).
Ditemani tanah yang subur dan alam yang memukau, mereka beranak pinak
dan hidup damai sambil memegang teguh ajaran nenek moyang yang bernama
Aluk Todolo – ajaran yang menitikberatkan pada pandangan terhadap
kosmos, kesetiaan kepada leluhur, dan menyembah Puang Matua (Tuhan).
Sekalipun saat ini masyarakat Toraja telah mayoritas beragama Kristen,
Aluk Todolo masih mendasari sendi-sendi kehidupan, walau sebagian
ritualnya sudah mulai ditinggalkan. Upacara penguburan adalah salah satu
ritual yang masih dipegang teguh.
Mengantar ke “Puyo”
Upacara kematian di Toraja dibagi dua bagian, yaitu begitu seseorang meninggal dan sebelum dikuburkan di tempat peristirahatan terakhir. Tradisi penguburan di gunung batu ini dimulai sekitar abad ke-17, yaitu ketika suku Bugis menginvasi Tana Toraja dan merusak makam nenek moyang. Sebelumnya, peti berukir indah dan barang-barang berharga milik almarhum cukup diletakkan di dalam gua.
Upacara kematian di Toraja dibagi dua bagian, yaitu begitu seseorang meninggal dan sebelum dikuburkan di tempat peristirahatan terakhir. Tradisi penguburan di gunung batu ini dimulai sekitar abad ke-17, yaitu ketika suku Bugis menginvasi Tana Toraja dan merusak makam nenek moyang. Sebelumnya, peti berukir indah dan barang-barang berharga milik almarhum cukup diletakkan di dalam gua.
Jarak antara waktu kematian hingga waktu penguburan bisa memakan
waktu bertahun-tahun. Namun sesuai dengan ajaran Aluk Todolo, kematian
baru benar-benar dianggap tiba bila upacara pemakaman sudah berlangsung.
Selama upacara pemakamannya belum bisa diselenggarakan oleh keluarga,
maka selama itu pula orang yang meninggal harus diperlakukan bagai orang
yang masih bernyawa.
Bagi masyarakat Tana Toraja, upacara untuk mengantarkan kematian
anggota keluarga itu memang penting, walau pesta penguburan dapat
memakan dana hingga miliaran Rupiah. Sesuai mitos yang hidup di kalangan
pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang telah meninggal dunia
akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo atau tempat
berkumpulnya semua roh yang terletak di bagian selatan tempat tinggal
manusia. Oleh karena itu bila ada orang meninggal, sebelum dikuburkan,
jenazahnya disimpan di bagian selatan rumah.
Hanya saja tidak setiap arwah atau roh orang yang meninggal itu dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo
karena perlu upacara penguburan yang sesuai dengan status sosial semasa
ia hidup. Jika tidak diupacarakan sesuai ajaran, yang bersangkutan
tidak dapat mencapai puyo dan jiwanya akan tersesat. Upacara
penguburan yang rumit dan melibatkan banyak orang ini sebenarnya juga
bertujuan mempererat tali persaudaraan. Malah biasanya sengaja diadakan
ketika musim libur sekolah agar kerabat yang tinggal di luar Tana Toraja
bisa meluangkan waktu untuk hadir.
Bisa dimaklumi bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja
pihak keluarga dan kerabat almarhum berusaha membekali jiwa yang akan
bepergian itu dengan pemotongan hewan – biasanya kerbau dan babi. Para
penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut
dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang
yang meninggal menuju ke puyo.
Berhubung pembuatannya mahal, hanya jenazah yang keturunan bangsawanlah yang dikuburkan bersama tau-tau
– boneka kayu yang didandani lengkap dengan baju dan aksesori
menyerupai almarhum. Sebagai wadah untuk menampung jiwa orang yang
meninggal, tau-tau terbuat dari kayu nangka yang tahan lama,
walau ada juga yang terbuat dari bambu, dan dibuat dengan ritual upacara
yang tidak sembarangan.
Pada tahun 1980-an marak terjadi pencurian tau-tau untuk
dijual ke luar negeri sehingga boneka kayu itu kemudian diletakkan jauh
tinggi di gunung batu atau disembunyikan di dalam gua. Setiap beberapa
tahun sekali, keluarga akan mengadakan upacara penghormatan kepada
moyang mereka. Di saat itu kuburan akan dibuka dan tau-tau akan
diganti bajunya dengan diiringi doa memohon berkat dan persembahan
berupa sirih, buah pinang, rokok, tembakau, nasi, daging babi, dan tuak.
Keceriaan Pesta Penguburan
Akhir Februari kemarin saya beruntung bisa hadir di Rante Ma’dika pada upacara pemakaman almarhum yang meninggal 4 Desember 2004 pada usia 84 tahun. Berlangsung selama sepuluh hari, setiap harinya acara diawali dengan kebaktian. Puncak rangkaian acara berlangsung pada hari keenam dengan ditandai pengusungan jenazah (ma’palao) keliling kampung bersama tau-tau yang didudukkan di tandu dan beberapa ekor kerbau yang dihias. Hal ini dimaksudkan agar jenazah dapat mengucapkan salam perpisahan untuk terakhir kalinya kepada warga setempat.
Akhir Februari kemarin saya beruntung bisa hadir di Rante Ma’dika pada upacara pemakaman almarhum yang meninggal 4 Desember 2004 pada usia 84 tahun. Berlangsung selama sepuluh hari, setiap harinya acara diawali dengan kebaktian. Puncak rangkaian acara berlangsung pada hari keenam dengan ditandai pengusungan jenazah (ma’palao) keliling kampung bersama tau-tau yang didudukkan di tandu dan beberapa ekor kerbau yang dihias. Hal ini dimaksudkan agar jenazah dapat mengucapkan salam perpisahan untuk terakhir kalinya kepada warga setempat.
Rombongan pengusung peti juga dikawal oleh para wanita kerabat
berpakaian serba hitam yang berbaris memegang sehelai panjang kain
berwarna merah di atas kepala. Berhubung jenazah adalah seorang wanita,
barisan perempuan berpayungkan kain merah ini berjalan di belakang peti
jenazah untuk melambangkan rambut (yang adalah mahkota wanita). Bila
yang meninggal laki-laki, barisan wanita pemegang kain merah akan
berjalan di depan peti yang diusung.
Pengusungan ini tidak dilakukan dengan cara yang hikmat, melainkan
dengan berjingkrat-jingkrak. Sesekali para pemuda pengusung peti yang
dinaungi atap Tongkonan itu pun tampak bercanda sendiri dengan saling
mencipratkan genangan lumpur di jalan. Begitu arak-arakan tiba kembali
di tempat upacara, peti diletakkan di bagian atas sebuah rumah panggung
di pinggir arena agar dapat dilihat oleh semua tamu yang hadir. Peti
akan terus berada di situ sampai hari terakhir upacara penguburan.
Kerumunan massa kemudian beralih ke sawah yang tak jauh dari situ untuk
melihat adu kerbau yang tak kalah seru.
Keesokan harinya disambung dengan penerimaan tamu alias melayat
secara adat. Suasana hari itu berubah menjadi pasar ternak, berhubung
setiap tamu yang datang membawa hewan persembahan sesuai dengan
kemampuan masing-masing, berupa babi, kerbau, dan bahkan keduanya. Di
gerbang tempat upacara terdapat pos yang mencatat sumbangan hewan para
tamu agar di masa mendatang kelurga yang sedang berduka dapat membalas
kebaikan para tamu.
Dimulai sejak pagi, orang yang melayat dibagi menjadi beberapa
gelombang, sesuai banyaknya jumlah yang hadir. Setelah tamu berbaris
memasuki arena upacara beserta hewan bawaan masing-masing, mereka
dipersilakan duduk di sebuah gubuk khusus tamu untuk disuguhi kopi, teh,
kue-kue khas Toraja dan tak lupa, rokok kretek. Pihak keluarga kemudian
berbaris menuju gubuk tempat para tamu duduk untuk beramah-tamah.
Setelah minum dan mengobrol sebentar, tamu dan keluarga
berbondong-bondong keluar dari gubuk. Begitu seterusnya sampai rombongan
tamu hari itu habis. Acara penerimaan tamu itu berlangsung selama dua
hari.
Hari berikutnya adalah pemotongan kerbau (mantunu).
Dengan disaksikan para tamu, satu per satu kerbau dibawa ke tengah
arena upacara untuk kakinya diikat pada sebuah tonggak kayu dan ditebas
lehernya dalam sorak-sorai penonton. Biasanya turis asing yang ikut
menonton ritual tersebut tidak tahan, malah kadang pingsan, melihat
lautan darah yang menggenang dan geliatan kerbau meregang nyawa, beserta
amis darah dan aroma kematian yang ikut menyesakkan dada.
Keseluruhan kerbau yang dipotong untuk acara penguburan itu adalah 24
ekor, namun beberapa ekor telah dipotong di hari-hari sebelumnya
sehingga yang dipotong hari itu tinggal sebanyak 14 ekor. Daging kerbau
itu kemudian dibagikan kepada masyarakat setempat sebagai tanda ucapan
terima kasih karena telah sukarela membantu pelaksanaan upacara
penguburan, sekaligus sebagai ungkapan maaf bilamana selama pelaksanaan
upacara terjadi hal-hal yang tidak mengenakkan.
Hari terakhir tibalah saat untuk menguburkan jenazah. Baru di saat
inilah suasana duka sedikit terasa. Keluarga sepertinya tersadar bahwa
hari itu adalah hari terakhir mereka bisa melihat jenazah Ne’ Banne
sehingga tampak beberapa kerabat saling berpelukan dan menangis. Setelah
ma’badong – nyanyian penghormatan kepada jenazah yang dilakukan
sambil melingkar bergandengan dan melompat-lompat kecil – jenazah diarak
ke situs kuburan batu di Londa yang terletak sekitar 2,5 km dari tempat
upacara di Rante Ma’dika. Lagi-lagi jenazah beserta tau-tau
diusung sambil berjingkrak-jingkrak sepanjang jalan. Mengusung jenazah
ini, karena membutuhkan tenaga yang besar, merupakan bentuk penghormatan
terakhir para pemuda setempat kepada jenazah.
Sesampainya di Londa, peti dibungkus dengan anyaman tikar dan
kemudian diangkat beramai-ramai ke puncak gunung batu yang terjal.
Ketika sudah sampai di puncak, dengan diikat seutas tali, peti Ne’ Banne
diturunkan perlahan ke tempat peristirahatan terakhirnya, yaitu sebuah
celah di tebing batu bersama keluarganya yang telah lebih dulu
meninggal.