Rabu, 07 Mei 2014

PNBP BERSUMBER DANA RETRIBUSI PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN NEGARA UNTUK USAHA PERTAMBANGAN



PNBP BERSUMBER DANA RETRIBUSI PENGGUNAAN
KAWASAN HUTAN NEGARA UNTUK USAHA
PERTAMBANGAN: KONTROVERSI
PP NO.2 TH 2008 *)
Oleh: Sofyan P.Warsito **)

Pendahuluan
Sudah relatif lama kontroversi penambangan di kawasan hutan negara muncul di tengah masyarakat, berkenaan dengan kekhawatiran dampak kerusakan ekosistem hutan yang ditimbulkannya. Namun, sebelum kontroversi itu selesai dipertemukan, terbitlah PP Nomor 2 tahun 2008 yang meningkatkan kualitas kontroversi tersebut kearah yang lebih tajam. Penulis yakin bahwa semua perdebatan dalam masalah ini, adalah berlatar belakang kecintaan dan keinginan semua fihak untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa melalui sektor perekonomian. Dalam keadaan ekstrim, antar fihak saling tuduh sebagai yang ego sektoral, sampai bisa dikatakan lupa bahwa semuanya adalah sama-sama memiliki negara yang sama. Seperti pernah dikatakan oleh para filosof, bahwa perbedaan pendapat itu pada umumnya adalah terjadi dikarenakan oleh perbedaan asumsi yang mendasarinya. Paper ini berusaha untuk menyampaikan pendapat dari sisi akademik, dengan harapan akan bisa mampu menjadi bahan pertimbangan bagi para fihak yang berkepentingan terhadap kelestarian perekonomian (sustainable economy) bangsa dilihat dari dua sektor yakni sektor Kehutanan dan sektor Pertambangan.
Hutan Negara adalah Aktiva Milik Bersama (Milik Publik)
Hutan Negara adalah aktiva milik publik yang dimandatkan kepada Pemerintah, yang kemudian dimandatkan kepada Departemen Kehutanan untuk mengelolanya. Jadi, Hutan Negara adalah bukan milik Departemen Kehutanan. Kenapa disebut sebagai milik publik (public property) adalah dikarenakan hutan (baik Hutan Lindung maupun Hutan Produksi) dalam hal fungsi utamanya yang
----------------------------------------
*) Paper didiskusikan dalam Lokakarya Mengurai Kontroversi Pinjam Pakai Kawasan Hutan dalam Pembangunan Berkelanjutan. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian RI. Bogor 5 Agustus 2005
**) Dr.Ir. Sofyan P.Warsito, Staf Pengajar Fakultas Kehutanan UGM Laboratorium Ekonomi Sumber Daya Hutan.
adalah merupakan salah satu komponen keseimbangan ekosistem, yang mampu mempengaruhi kualitas kehidupan manusia termasuk kelestarian perekonomian. Harus diakui bahwa memang terdapat kesalahan definisi dalam UU-41 Tahun 1999 yang mengatakan bahwa Hutan Produksi adalah hutan yang berfungsi pokok produksi (kayu), semestinya harus disebutkan bahwa Hutan Produksi adalah hutan yang apabila dikelola dengan baik, mampu (bukan berfungsi pokok) menghasilkan produksi kayu secara lestari (sustainable).
Deklarasi Stockholm tahun 1970 tentang sustainable economic development (SED) antara lain menyatakan bahwa variabel lingkungan tidak lagi berada di luar sistem perekonomian (exogenous variable) melainkan adalah merupakan variabel endogen (endogenous variable). Artinya bahwa pembangunan ekonomi akan gagal apabila terjadi gangguan ekosistem (lingkungan). Juga berarti bahwa terminologi ekonomi sudah mencakup faktor lingkungan. Kehancuran ekosistem, akan berdampak kerugian ekonomi yang memerlukan dana dana pemerintah maupun masyarakat untuk pemulihannya (yang kadang bisa sulit untuk dipulihkan). Dalam musim hujan (banjir) maupun kemarau (kekeringan), akhir-akhir ini sudah selalu dihitung nilai ekonomi kerugian yang diakibatkannya.
Memang dari hutan sering di hitung-hitung sumbangan pendapatan sektor kehutanan dalam bentuk uang kontan (cash income), namun sebenarnya nilainya akan sangat-sangat rendah dibandingkan dengan sumbangan nilai ekonomi yang diberikan kepada perekonomian melalui ujudnya sebagai stok atau deposit (tegakan) hutan, yang menurut penelitian IPB hanya sekitar 5 persen saja dari nilai finansial arus (flow) produksi kayu yang bisa dihasilkannya. Oleh karena itu, membandingkan indikator nilai profitabilitas finansial (komersial) yang bisa dihasilkan tegakan hutan dengan profitabilitas komersial yang dihasilkan sektor lain (seperti produk pertanian dan perkebunan), untuk pengambilan keputusan konversi hutan ke usaha lain (pertambangan, perkebunan dsb) adalah sangat-sangat tidak bijaksana. Pemilihan apakah suatu tegakan hutan tetap terpelihara sebagai hutan atau perlu dikonversi ke sektor lain, mutlak harus didasarkan pada Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value atau TEV) yang disumbangkan tegakan hutan terkait, dengan nilai TEV untuk bisnis usaha alternatif sektor-sektor bisnis non Kehutanan.
Penerimaan Negara bagi Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan
Terminologi Penerimaan Negara (termasuk PNBP) mungkin perlu diperjelas lagi agar orang awam lebih mengerti arti dan tujuannya. Apakah yang dimaksud dengan Penerimaan Negara (PN) adalah diartikan sebagai seluruh jenis dana yang diterima pemerintah (revenue), atau hanya penerimaan yang bisa masuk ke dalam terminologi penghasilan (Penghasilan (Income) Negara). Mungkin, yang dimaksud adalah Penerimaan dalam arti yang pertama, yakni seluruh jenis penerimaan Pemerintah. Kalau tafsiran ini benar maka, tinggal klasifikasi penggunaan PN itu bagi pengelolaan negara ini, yakni bahwa tidak seluruh PN adalah Penghasilan Pemerintah, melainkan ada yang bisa digunakan untuk belanja negara yang bersifat rutin (belanja umum termasuk konsumsi) dan ada pula jenis penerimaan yang hanya boleh digunakan bagi kelangsungan kegiatan pembangunan di sektor penghasil dana PN itu.
Diantara jenis PN yang hanya boleh digunakan bagi kegiatan yang berhubungan dengan pelestarian aktiva negara (termasuk aktiva negara yang berupa hutan), adalah penerimaan negara yang oleh para ahli ekonomi disebut sebagai jenis Dana Cadangan Depresiasi (DCD). Dana Reboisasi (DR) misalnya adalah merupakan DCD untuk keperluan replacement aktiva hutan alam penyedia DR (HPH) yang bersangkutan, tidak digunakan untuk keperluan pembangunan hutan di luar sektor hutan alam HPH (seperti sekarang digunakan untuk kegiatan Gerhan, Hutan Tanaman Rakyat, dsb).Tanpa definisi yang demikian, kelestarian tegakan hutan alam yang diusahakan HPH akan mengandung resiko gagal seperti yang sudah terbukti terjadi di lapangan. Dalam prakteknya, Dana Reboisasi kemudian kemudian berubah fungsi dengan munculnya istilah “bagi hasil” antara pusat dan daerah penghasilnya. Mungkin pengertian “bagi hasil” tidak dimaksudkan sebagai bagi-bagi penghasilan (income), namun penggunaan terminologi yang keliru ini mengandung pengertian yang juga keliru dari yang semestinya.
Contoh sejenis di sektor Pertambangan adalah adanya DCD yang berupa Dana Reklamasi untuk bekas tambang. Apabila areal pertambangan berada di dalam kawasan Hutan Negara, DCD digunakan untuk mereklamasi bentang alam yang ditambang, termasuk reklamasi tegakan hutan yang semula ada di areal yang bersangkutan. Kalau kondisi lahan kawasan Hutan Negara sebelum digunakan untuk ekstraksi barang tambang adalah berupa lahan kosong, rusak, semak belukar, bertegakan tak produktif (tanah kosong), Dana Reklamasi digunakan untuk pembangunan tegakan hutan ybs. Penulis belum jelas oleh siapa Dana Reklamasi Tambang ini dikumpulkan dan digunakan.
Jelaslah kiranya bahwa penggunaan dana PNBP harus dipisahkan dari (a) yang bisa untuk kepentingan konsumsi (rutin) dan (b) untuk kepentingan replacement bagi kelestarian aktiva negara, agar kinerja manfaat sumber daya alam bagi bangsa tidak menurun di masa berikutnya. Hicks (1947) menyampaikan dalil tentang penghasilan lestari (sustainable income) yang adalah bagian penerimaan yang maksimum bisa untuk pengeluaran konsumsi sedemikian sehingga penghasilan berikutnya tidak menurun. Dalil ini dalam tahun 1970 di Stockholm dideklarasikan World Bank (Brundtland Comission) sebagai salah satu prinsip sustainable economic development (SED). Dengan SED-lah kemudian dikenalkan terminologi DCD Sumber Daya Alam itu. Dalam arti yang lebih luas lagi, deklarasi SED tersebut menempatkan penghasilan total Pemerintah dari sektor pertambangan masuk ke dalam pengertian  Depresiasi Sumber Daya Alam Tak Terbarukan yang tidak boleh digunakan untuk belanja konsumsi rutin secara langsung, melainkan hanya boleh digunakan bagi pembelian barang-barang kapital. Dengan kata lain, penghasilan Pemerintah dari sektor pertambangan harus digunakan khusus bagi modal transformasi ke kegiatan sustainable activities. Dalam perhitungan Pendapatan Nasional oleh BPS menyediakan data keduanya, yakni PDB yang mencakup BBM (tambang) dan PDB non Tambang, yang secara tak langsung terdapat pengakuan bahwa pendapatan dari sektor pertambangan adalah bukan penghasilan untuk bisa digunakan bagi pembelanjaan rutin.

Kasus PP nomor 2 Tahun 2008
PP nomor 2 tahun 2008 mengandung resiko kesalahan sejak dari judulnya. Kesalahan pertama adalah berupa naskah judul PP yang berbunyi: Peraturan Pemerintah tentang Jenis PNBP yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan.  Pertama, terminologi penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan adalah suatu penghalusan (eufemisme) kata terhadap terminologi perusakan hutan, karena kegiatan penambangan harus mengubah total bentang alam seluas areal penambangan, terkecuali apabila pengusaha mampu melaksanakan kegiatan penambangan tertutup (closed mining) seperti yang penulis dengar pada usaha pertambangan batu bara di Sawahlungo yang mengusahakan tidak merusak tegakan dan topografi lahan.
Kedua adalah bahwa kalimat yang digunakan untuk judul PP tersebut menimbulkan kesan bahwa seolah-olah peran sektor Kehutanan adalah terlalu rendah dalam sumbangannya kepada Penerimaan Negara, sehingga memerlukan lagi sumber dana dari sumber yang sebenarnya adalah milik negara juga (bukan milik Departemen Kehutanan) juga. Kiranya sudah diketahui, bahwa sumbangan sektor Kehutanan dalam perolehan penerimaan dana kontan (cash) dari sektor Kehutanan selama ini kepada Pemerintah, adalah bukan hanya dari PNBP (PSDH) saja tetapi juga dari pajak-pajak (pajak penghasilan unit-unit perusahaan maupun pajak-pajak dari nilai input tenaga kerja dan pajak-pajak yang ditimbulkan oleh pembelian faktor produksi lainnya. 
Ketiga, adalah menyangkut koherensi (konsistensi) antara naskah Utama PP dengan naskah yang termuat dalam naskah Lampiran Penjelasan. Pada naskah utama, dapat ditafsirkan bahwa yang menjadi obyek peraturan adalah PNBP dari sektor Pertambangan tidak menyangkut nilai kerusakan ekosistem dan dampaknya bagi perekonomian masyarakat yang diakibafkan oleh kegiatan penambangan. Namun, dalam Penjelasan PP ini menyebutkan bahwa retribusi PNBP penggunaan kawasan hutan adalah dipungut  dikarenakan adanya kerusakan hutan. Uraian penjelasan yang termuat dalam pada butir I (Umum) menyatakan bahwa:
“,,,,,,,,,,,, Sumber Daya Hutan berfungsi sebagai penyangga kehidupan manusia melalui berbagai fungsinya. Hilangnya fungsi hutan mengakibatkan bencana seperti banjir dan kekeringan…dst. Oleh karena itu sumber daya hutan merupakan subyek maupun obyek sekaligus sebagai subyek pembangunan yang sangat strategis.
Lebih lanjut bisa dibaca pada alinea keduanya, yang mengatakan bahwa Penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan belum sepenuhnya memberikan penghargaan terhadap nilai manfaat hutan yang hilang. Nilai manfaat hutan ini antara lain kompensasinya adalah dalam bentuk lahan kompensasi, tetapi lahan kompensasi sulit diperoleh. Oleh karena itu diperlukan suatu nilai pengganti terhadap lahan kompensasi.
Untaian kalimat yang digunakan tersebut tentu menyiratkan pengertian bahwa pegenaan retribusi yang diatur dalam PP adalah digunakan untuk kompensasi nilai ekonomi yang hilang oleh kegiatan perusakan hutan oleh sektor usaha non kehutanan yang menggunakannya, yang tentunya harus digunakan untuk replacement tegakan hutan yang rusak. Padahal PNBP yang diatur oleh naskah utama PP tidak dimaksudkan untuk dikhususkan bagi pemulihan kerusakan hutan yang ditimbulkannya. Jadi antara Penjelasan PP dengan maksud dan tujuan PP tidak konsisten (koheren). Padahal Lampiran PP yang berupa Penjelasan adalah juga merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari PP tersebut. Oleh karena itu, uraian dalam Penjelasan dalam Bab I (Umum) mutlak harus direvisi.
Penulis berpendapat, bahwa oleh karena itu retribusi bagi PNBP yang dipungut dari sektor usaha tambang, tidak harus dipermasalahkan tentang kecukupan (apakah yang masih kurang besar, atau sudah cukup, atau terlalu besar) tingkat tarif yang dikenakan Pemerintah, karena norma retribusi yang dikenakan adalah bukan kriteria bagi nilai penggantian nilai kerusakan hutan yang diakibatkan oleh penggunaan kawasan hutan oleh sektor non kehutanan.
Dana Reklamasi dan Dana Eksternalitas Penambangan
Dari uraian tersebut di muka, dapalah kiranya ditarik pelajaran bahwa yang justru harus didiskusikan para fihak, adalah justru dalam hal Dana Reklamasi, serta (seharusnya ada pungutan) sebagai pengganti nilai ekonomi Eksternalitas Negatif yang ditumbulkan oleh kegiatan pertambangan. Nilai eksternalitas negatif ini harus di hitung yang tentunya berbeda-beda untuk setiap lokasi areal penambangan. Nilai eksternalitas ini tentunya sangat besar, yang memungkinkan suatu penambangan bisa saja tidak layak untuk diusahakan, dikarenakan misalnya apabila harga pasar produk tambang tidak mampu menutup biaya total ekonomi (Total Economic Value) yang diperlukan. Apabila demikian, maka produk taambang di yang berasal dari penggunaan kawasan hutan tersebut semestinya adalah harus lebih tinggi daripada harga pasar.
Dana Reklamasi adalah dana yang digunakan untuk kepentingan pemulihan bentang alam (termasuk hutan) yang rusak oleh kegiatan penambangan. Nilai Dana Reklamasi tentunya tidak harus sama untuk setiap lokasi areal tambang. Bagi kegiatan penambangan yang ada di kawasan hutan bernilai (harga) stok tegakan tinggi tentunya Dana Reklamasi yang dipungut adalah setinggi nilai tegakan ybs, tidak sama besarnya apabila kawasan hutan yang digunakan adalah bertegakan hutan bernilai rendah. Reklamasi semestinya mencakup seluruh biaya yang diperlukan untuk bisa mencapai terbentuknya hutan seperti semula, yang akan relatif sangat sangat besar apabila nilai ekonomi tegakannya adalah juga tinggi yang akan memperbesar pungutan Dana Reklamasi yang harus disediakan apabila penambangan dillaksanakan di kawasan Hutan Lindung. Lebih jauh lagi, dana yang diperoleh dari harga pasar kayu yang diperoleh dari kegiatan penambangan, sebenarnya adalah harus disetor kepada Negara (dalam pos PNBP) sepenuhnya (tidak ada IPK bagi kegiatan Pertambangan) karena pembongkaran tegakan hutan adalah bukan merupakan hasil penambangan, melainkan adalah merupakan biaya penambangan.  
Kesimpulan
1.    PNPB yang diatur dalam PP nomor 2 tahun 2008, tidak ada kaitannya dengan nilai kerusakan hutan. Oleh karena itu tidak diperlukan keberatan tentang besar tarif PNBP ini ditinjaui dari sisi nilai kerusakan hutan oleh kegiatan penambangan. Nilai Ekonomi Kerusakan Hutan  dan nilai  ekonomi dampak Penambangan (eksternalitas negatif) yang harus dibayar oleh setiap usaha penambangan harus diatur tersendiri.
2.    Nilai PNBP dari usaha pertambangan bisa mencakup pungutan sebesar nilai pasar kayu yang tertebang oleh kegiatan penambangan. Tidak dibernarkan adanya IPK di sektor usaha penambangan, karena kayu yang tertebang dari pembongkaran tegakan hutan bukan merupakan pendapatan penambangan.
3.    PP nomor 2 tahun 2008 diperlukan revisi terutama dalam hal konsistensi antara Naskah Utama dengan naskah Penjelasannya (terutama untuk bab I Penjelasan). Revisi juga diperlukan untuk jenis tarif L3 yang lebih rendah dari tarif L2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar