Minggu, 27 April 2014

Serunya Pesta Penguburan di Tana Toraja



Serunya Pesta Penguburan di Tana Toraja


Di tempat secantik Tana Toraja, tak ada yang sempat untuk bermuram durja. Bahkan ketika kematian menghampiri. Begitu pun ketika leher kerbau seharga ratusan juta memuntahkan darah segar akibat tebasan belati sang tukang jagal, bukan kengerian yang menghiasi wajah, melainkan harapan untuk mengantarkan orang yang dicinta menuju peristirahatan terakhir.
Untuk mencapai Tana Toraja hingga saat ini masih harus melalui pintu gerbang dari Makassar, yang kemudian dilanjutkan dengan perjalanan darat berjarak 325 km yang ditempuh dalam waktu sekitar delapan jam. Untungnya alam di sepanjang rute Makassar – Toraja berbaik hati menyegarkan mata dan hati dengan keindahannya sehingga penat perjalanan panjang agak terobati. Lamanya jarak tempuh menuju Toraja membuat setidaknya butuh waktu lebih dari tiga hari agar bisa puas menikmati pesona petualangan yang ditawarkan dataran tinggi yang yang sebagian wilayahnya dihiasi gunung-gunung batu kapur ini.
_EGG7390Rantepao, ibukota Kabupaten Tana Toraja adalah tempat yang ideal untuk dijadikan base-camp selama mengeksplor dataran tinggi itu. Akomodasi sederhana hingga bungalow mewah berbentuk Tongkongan (rumah adat Toraja) lengkap tersedia di kota mungil tersebut. Hanya saja hotel-hotel tersebut jarang dilengkapi AC karena udara di Toraja sudah dingin sehingga AC tidak lagi dibutuhkan.
Aluk Todolo, Ajaran Moyang
Secara harafiah, ‘Toraja’ berarti ‘orang-orang yang berdiam di negeri atas’, atau bisa juga diartikan sebagai wilayah pegunungan. Secara antropologi, sub ras Melayu Tua yang merupakan nenek moyang orang Toraja, konon merantau dengan perahu dan oleh nasib didamparkan di Pulau Sulawesi. Waktu yang bergulir pun kemudian menggiring mereka jauh ke dataran tinggi di pedalaman dan hidup di Tongkonan – rumah adat Toraja yang atapnya berbentuk seperti perahu (walau ada juga yang mengartikan seperti tanduk kerbau – hewan yang memiliki fungsi sosial dan ekonomis yang besar bagi masyarakat Toraja).
Ditemani tanah yang subur dan alam yang memukau, mereka beranak pinak dan hidup damai sambil memegang teguh ajaran nenek moyang yang bernama Aluk Todolo – ajaran yang menitikberatkan pada pandangan terhadap kosmos, kesetiaan kepada leluhur, dan menyembah Puang Matua (Tuhan). Sekalipun saat ini masyarakat Toraja telah mayoritas beragama Kristen, Aluk Todolo masih mendasari sendi-sendi kehidupan, walau sebagian ritualnya sudah mulai ditinggalkan. Upacara penguburan adalah salah satu ritual yang masih dipegang teguh.
Mengantar ke “Puyo”
Upacara kematian di Toraja dibagi dua bagian, yaitu begitu seseorang meninggal dan sebelum dikuburkan di tempat peristirahatan terakhir. Tradisi penguburan di gunung batu ini dimulai sekitar abad ke-17, yaitu ketika suku Bugis menginvasi Tana Toraja dan merusak makam nenek moyang. Sebelumnya, peti berukir indah dan barang-barang berharga milik almarhum cukup diletakkan di dalam gua.
Jarak antara waktu kematian hingga waktu penguburan bisa memakan waktu bertahun-tahun. Namun sesuai dengan ajaran Aluk Todolo, kematian baru benar-benar dianggap tiba bila upacara pemakaman sudah berlangsung. Selama upacara pemakamannya belum bisa diselenggarakan oleh keluarga, maka selama itu pula orang yang meninggal harus diperlakukan bagai orang yang masih bernyawa.
Bagi masyarakat Tana Toraja, upacara untuk mengantarkan kematian anggota keluarga itu memang penting, walau pesta penguburan dapat memakan dana hingga miliaran Rupiah. Sesuai mitos yang hidup di kalangan pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang telah meninggal dunia akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo atau tempat berkumpulnya semua roh yang terletak di bagian selatan tempat tinggal manusia. Oleh karena itu bila ada orang meninggal, sebelum dikuburkan, jenazahnya disimpan di bagian selatan rumah.
Hanya saja tidak setiap arwah atau roh orang yang meninggal itu dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo karena perlu upacara penguburan yang sesuai dengan status sosial semasa ia hidup. Jika tidak diupacarakan sesuai ajaran, yang bersangkutan tidak dapat mencapai puyo dan jiwanya akan tersesat. Upacara penguburan yang rumit dan melibatkan banyak orang ini sebenarnya juga bertujuan mempererat tali persaudaraan. Malah biasanya sengaja diadakan ketika musim libur sekolah agar kerabat yang tinggal di luar Tana Toraja bisa meluangkan waktu untuk hadir.
Bisa dimaklumi bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak keluarga dan kerabat almarhum berusaha membekali jiwa yang akan bepergian itu dengan pemotongan hewan – biasanya kerbau dan babi. Para penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang yang meninggal menuju ke puyo.
2Berhubung pembuatannya mahal, hanya jenazah yang keturunan bangsawanlah yang dikuburkan bersama tau-tau – boneka kayu yang didandani lengkap dengan baju dan aksesori menyerupai almarhum. Sebagai wadah untuk menampung jiwa orang yang meninggal, tau-tau terbuat dari kayu nangka yang tahan lama, walau ada juga yang terbuat dari bambu, dan dibuat dengan ritual upacara yang tidak sembarangan.
Pada tahun 1980-an marak terjadi pencurian tau-tau untuk dijual ke luar negeri sehingga boneka kayu itu kemudian diletakkan jauh tinggi di gunung batu atau disembunyikan di dalam gua. Setiap beberapa tahun sekali, keluarga akan mengadakan upacara penghormatan kepada moyang mereka. Di saat itu kuburan akan dibuka dan tau-tau akan diganti bajunya dengan diiringi doa memohon berkat dan persembahan berupa sirih, buah pinang, rokok, tembakau, nasi, daging babi, dan tuak.
Keceriaan Pesta Penguburan
Akhir Februari kemarin saya beruntung bisa hadir di Rante Ma’dika pada upacara pemakaman almarhum yang meninggal 4 Desember 2004 pada usia 84 tahun. Berlangsung selama sepuluh hari, setiap harinya acara diawali dengan kebaktian. Puncak rangkaian acara berlangsung pada hari keenam dengan ditandai pengusungan jenazah (ma’palao) keliling kampung bersama tau-tau yang didudukkan di tandu dan beberapa ekor kerbau yang dihias. Hal ini dimaksudkan agar jenazah dapat mengucapkan salam perpisahan untuk terakhir kalinya kepada warga setempat.
Rombongan pengusung peti juga dikawal oleh para wanita kerabat berpakaian serba hitam yang berbaris memegang sehelai panjang kain berwarna merah di atas kepala. Berhubung jenazah adalah seorang wanita, barisan perempuan berpayungkan kain merah ini berjalan di belakang peti jenazah untuk melambangkan rambut (yang adalah mahkota wanita). Bila yang meninggal laki-laki, barisan wanita pemegang kain merah akan berjalan di depan peti yang diusung.
Pengusungan ini tidak dilakukan dengan cara yang hikmat, melainkan dengan berjingkrat-jingkrak. Sesekali para pemuda pengusung peti yang dinaungi atap Tongkonan itu pun tampak bercanda sendiri dengan saling mencipratkan genangan lumpur di jalan. Begitu arak-arakan tiba kembali di tempat upacara, peti diletakkan di bagian atas sebuah rumah panggung di pinggir arena agar dapat dilihat oleh semua tamu yang hadir. Peti akan terus berada di situ sampai hari terakhir upacara penguburan. Kerumunan massa kemudian beralih ke sawah yang tak jauh dari situ untuk melihat adu kerbau yang tak kalah seru.
Keesokan harinya disambung dengan penerimaan tamu alias melayat secara adat. Suasana hari itu berubah menjadi pasar ternak, berhubung setiap tamu yang datang membawa hewan persembahan sesuai dengan kemampuan masing-masing, berupa babi, kerbau, dan bahkan keduanya. Di gerbang tempat upacara terdapat pos yang mencatat sumbangan hewan para tamu agar di masa mendatang kelurga yang sedang berduka dapat membalas kebaikan para tamu.
Dimulai sejak pagi, orang yang melayat dibagi menjadi beberapa gelombang, sesuai banyaknya jumlah yang hadir. Setelah tamu berbaris memasuki arena upacara beserta hewan bawaan masing-masing, mereka dipersilakan duduk di sebuah gubuk khusus tamu untuk disuguhi kopi, teh, kue-kue khas Toraja dan tak lupa, rokok kretek. Pihak keluarga kemudian berbaris menuju gubuk tempat para tamu duduk untuk beramah-tamah. Setelah minum dan mengobrol sebentar, tamu dan keluarga berbondong-bondong keluar dari gubuk. Begitu seterusnya sampai rombongan tamu hari itu habis. Acara penerimaan tamu itu berlangsung selama dua hari.
_EGG8699Hari berikutnya adalah pemotongan kerbau (mantunu). Dengan disaksikan para tamu, satu per satu kerbau dibawa ke tengah arena upacara untuk kakinya diikat pada sebuah tonggak kayu dan ditebas lehernya dalam sorak-sorai penonton. Biasanya turis asing yang ikut menonton ritual tersebut tidak tahan, malah kadang pingsan, melihat lautan darah yang menggenang dan geliatan kerbau meregang nyawa, beserta amis darah dan aroma kematian yang ikut menyesakkan dada.
Keseluruhan kerbau yang dipotong untuk acara penguburan itu adalah 24 ekor, namun beberapa ekor telah dipotong di hari-hari sebelumnya sehingga yang dipotong hari itu tinggal sebanyak 14 ekor. Daging kerbau itu kemudian dibagikan kepada masyarakat setempat sebagai tanda ucapan terima kasih karena telah sukarela membantu pelaksanaan upacara penguburan, sekaligus sebagai ungkapan maaf bilamana selama pelaksanaan upacara terjadi hal-hal yang tidak mengenakkan.
Hari terakhir tibalah saat untuk menguburkan jenazah. Baru di saat inilah suasana duka sedikit terasa. Keluarga sepertinya tersadar bahwa hari itu adalah hari terakhir mereka bisa melihat jenazah Ne’ Banne sehingga tampak beberapa kerabat saling berpelukan dan menangis. Setelah ma’badong – nyanyian penghormatan kepada jenazah yang dilakukan sambil melingkar bergandengan dan melompat-lompat kecil – jenazah diarak ke situs kuburan batu di Londa yang terletak sekitar 2,5 km dari tempat upacara di Rante Ma’dika. Lagi-lagi jenazah beserta tau-tau diusung sambil berjingkrak-jingkrak sepanjang jalan. Mengusung jenazah ini, karena membutuhkan tenaga yang besar, merupakan bentuk penghormatan terakhir para pemuda setempat kepada jenazah.
Sesampainya di Londa, peti dibungkus dengan anyaman tikar dan kemudian diangkat beramai-ramai ke puncak gunung batu yang terjal. Ketika sudah sampai di puncak, dengan diikat seutas tali, peti Ne’ Banne diturunkan perlahan ke tempat peristirahatan terakhirnya, yaitu sebuah celah di tebing batu bersama keluarganya yang telah lebih dulu meninggal.

Upacara Pemakaman Tana Toraja


Upacara Rambu Solo’ di Tana Toraja
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan anisme politeistik yang disebut aluk, atau “jalan” (kadang diterjemahkan sebagai “hukum”). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta.Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo’ Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo’ Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.Kedua ritual tersebut sama pentingnya.

Upacara Pemakaman
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Upacara kematian ini disebut Rambu Solo’.
Rambu Solo’ merupakan acara tradisi yang sangat meriah di Tana Toraja, karena memakan waktu berhari-hari untuk merayakannya. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada siang hari, saat matahari mulai condong ke barat dan biasanya membutuhkan waktu 2-3 hari. Bahkan bisa sampai dua minggu untuk kalangan bangsawan. Kuburannya sendiri dibuat di bagian atas tebing di ketinggian bukit batu. Karena menurut kepercayaan Aluk To Dolo (kepercayaan masyarakat Tana Toraja dulu, sebelum masuknya agama Nasrani dan Islam) di kalangan orang Tana Toraja, semakin tinggi tempat jenazah tersebut diletakkan, maka semakin cepat pula rohnya sampai ke nirwana.
Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau.  Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.

Arti Kejujuran

JUJUR

“Orang yang jujur dipimpin oleh ketulusannya, tetapi pengkhianat dirusak oleh kecurangannya” (Amsal 11:3)


Rio dan Vika telah menjalin kasih selama 4 tahun lamanya. Tahun depan, mereka berencana melangsungkan pernikahan. Namun suatu hari Rio mulai tak setia. Dia menjalin hubungan khusus dengan wanita lain yang adalah rekan sekerjanya. Hingga suatu ketika Vika mengetahui hal itu. Hubungan mereka pun mulai retak. Karena kepercayaan Vika terhadap Rio mulai hilang, rencana pernikahan merekapun buyar. Walau ini cerita klasik, namun hingga kini masih saja terjadi.
Ketika seseorang “tidak jujur”, maka ia sedang menyembunyikan sesuatu demi kepentingannya. Hal itu biasanya dilakukan supaya mendapat keuntungan, kesenangan, memperoleh pretige atau sekalipun alih-alih bohong untuk kebaikan orang lain, tujuan yang diperolehnya supaya ia menerima respon yang baik dan keadaannya menjadi aman.
Bukankah ketika kita berbohong, dalam hati kita ada sinyal, bahwa perkataan kita tidak benar dan ada sepercik rasa bersalah? Namun bila hal itu sudah menjadi kebiasaan, kita akan merasa itu adalah hal yang lumrah. Dan ini berbahaya.
Kita bisa saja membohongi orang lain, namun hati kita tidak. Terlebih Tuhan. Bagaimana mungkin kita membohongi yang menciptakan mulut, telinga, hati dan segala sesuatu yang ada? Ketidak-jujuran tidak akan membawa hal yang baik. Karena kebenaran pasti akan muncul dengan sendirinya. Kira sendiri yang akan mengalami kerugian bukan.