Rabu, 07 Mei 2014

GAMBAR IJIN GUDANG BAHAN PELEDAK


PNBP BERSUMBER DANA RETRIBUSI PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN NEGARA UNTUK USAHA PERTAMBANGAN



PNBP BERSUMBER DANA RETRIBUSI PENGGUNAAN
KAWASAN HUTAN NEGARA UNTUK USAHA
PERTAMBANGAN: KONTROVERSI
PP NO.2 TH 2008 *)
Oleh: Sofyan P.Warsito **)

Pendahuluan
Sudah relatif lama kontroversi penambangan di kawasan hutan negara muncul di tengah masyarakat, berkenaan dengan kekhawatiran dampak kerusakan ekosistem hutan yang ditimbulkannya. Namun, sebelum kontroversi itu selesai dipertemukan, terbitlah PP Nomor 2 tahun 2008 yang meningkatkan kualitas kontroversi tersebut kearah yang lebih tajam. Penulis yakin bahwa semua perdebatan dalam masalah ini, adalah berlatar belakang kecintaan dan keinginan semua fihak untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa melalui sektor perekonomian. Dalam keadaan ekstrim, antar fihak saling tuduh sebagai yang ego sektoral, sampai bisa dikatakan lupa bahwa semuanya adalah sama-sama memiliki negara yang sama. Seperti pernah dikatakan oleh para filosof, bahwa perbedaan pendapat itu pada umumnya adalah terjadi dikarenakan oleh perbedaan asumsi yang mendasarinya. Paper ini berusaha untuk menyampaikan pendapat dari sisi akademik, dengan harapan akan bisa mampu menjadi bahan pertimbangan bagi para fihak yang berkepentingan terhadap kelestarian perekonomian (sustainable economy) bangsa dilihat dari dua sektor yakni sektor Kehutanan dan sektor Pertambangan.
Hutan Negara adalah Aktiva Milik Bersama (Milik Publik)
Hutan Negara adalah aktiva milik publik yang dimandatkan kepada Pemerintah, yang kemudian dimandatkan kepada Departemen Kehutanan untuk mengelolanya. Jadi, Hutan Negara adalah bukan milik Departemen Kehutanan. Kenapa disebut sebagai milik publik (public property) adalah dikarenakan hutan (baik Hutan Lindung maupun Hutan Produksi) dalam hal fungsi utamanya yang
----------------------------------------
*) Paper didiskusikan dalam Lokakarya Mengurai Kontroversi Pinjam Pakai Kawasan Hutan dalam Pembangunan Berkelanjutan. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian RI. Bogor 5 Agustus 2005
**) Dr.Ir. Sofyan P.Warsito, Staf Pengajar Fakultas Kehutanan UGM Laboratorium Ekonomi Sumber Daya Hutan.
adalah merupakan salah satu komponen keseimbangan ekosistem, yang mampu mempengaruhi kualitas kehidupan manusia termasuk kelestarian perekonomian. Harus diakui bahwa memang terdapat kesalahan definisi dalam UU-41 Tahun 1999 yang mengatakan bahwa Hutan Produksi adalah hutan yang berfungsi pokok produksi (kayu), semestinya harus disebutkan bahwa Hutan Produksi adalah hutan yang apabila dikelola dengan baik, mampu (bukan berfungsi pokok) menghasilkan produksi kayu secara lestari (sustainable).
Deklarasi Stockholm tahun 1970 tentang sustainable economic development (SED) antara lain menyatakan bahwa variabel lingkungan tidak lagi berada di luar sistem perekonomian (exogenous variable) melainkan adalah merupakan variabel endogen (endogenous variable). Artinya bahwa pembangunan ekonomi akan gagal apabila terjadi gangguan ekosistem (lingkungan). Juga berarti bahwa terminologi ekonomi sudah mencakup faktor lingkungan. Kehancuran ekosistem, akan berdampak kerugian ekonomi yang memerlukan dana dana pemerintah maupun masyarakat untuk pemulihannya (yang kadang bisa sulit untuk dipulihkan). Dalam musim hujan (banjir) maupun kemarau (kekeringan), akhir-akhir ini sudah selalu dihitung nilai ekonomi kerugian yang diakibatkannya.
Memang dari hutan sering di hitung-hitung sumbangan pendapatan sektor kehutanan dalam bentuk uang kontan (cash income), namun sebenarnya nilainya akan sangat-sangat rendah dibandingkan dengan sumbangan nilai ekonomi yang diberikan kepada perekonomian melalui ujudnya sebagai stok atau deposit (tegakan) hutan, yang menurut penelitian IPB hanya sekitar 5 persen saja dari nilai finansial arus (flow) produksi kayu yang bisa dihasilkannya. Oleh karena itu, membandingkan indikator nilai profitabilitas finansial (komersial) yang bisa dihasilkan tegakan hutan dengan profitabilitas komersial yang dihasilkan sektor lain (seperti produk pertanian dan perkebunan), untuk pengambilan keputusan konversi hutan ke usaha lain (pertambangan, perkebunan dsb) adalah sangat-sangat tidak bijaksana. Pemilihan apakah suatu tegakan hutan tetap terpelihara sebagai hutan atau perlu dikonversi ke sektor lain, mutlak harus didasarkan pada Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value atau TEV) yang disumbangkan tegakan hutan terkait, dengan nilai TEV untuk bisnis usaha alternatif sektor-sektor bisnis non Kehutanan.
Penerimaan Negara bagi Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan
Terminologi Penerimaan Negara (termasuk PNBP) mungkin perlu diperjelas lagi agar orang awam lebih mengerti arti dan tujuannya. Apakah yang dimaksud dengan Penerimaan Negara (PN) adalah diartikan sebagai seluruh jenis dana yang diterima pemerintah (revenue), atau hanya penerimaan yang bisa masuk ke dalam terminologi penghasilan (Penghasilan (Income) Negara). Mungkin, yang dimaksud adalah Penerimaan dalam arti yang pertama, yakni seluruh jenis penerimaan Pemerintah. Kalau tafsiran ini benar maka, tinggal klasifikasi penggunaan PN itu bagi pengelolaan negara ini, yakni bahwa tidak seluruh PN adalah Penghasilan Pemerintah, melainkan ada yang bisa digunakan untuk belanja negara yang bersifat rutin (belanja umum termasuk konsumsi) dan ada pula jenis penerimaan yang hanya boleh digunakan bagi kelangsungan kegiatan pembangunan di sektor penghasil dana PN itu.
Diantara jenis PN yang hanya boleh digunakan bagi kegiatan yang berhubungan dengan pelestarian aktiva negara (termasuk aktiva negara yang berupa hutan), adalah penerimaan negara yang oleh para ahli ekonomi disebut sebagai jenis Dana Cadangan Depresiasi (DCD). Dana Reboisasi (DR) misalnya adalah merupakan DCD untuk keperluan replacement aktiva hutan alam penyedia DR (HPH) yang bersangkutan, tidak digunakan untuk keperluan pembangunan hutan di luar sektor hutan alam HPH (seperti sekarang digunakan untuk kegiatan Gerhan, Hutan Tanaman Rakyat, dsb).Tanpa definisi yang demikian, kelestarian tegakan hutan alam yang diusahakan HPH akan mengandung resiko gagal seperti yang sudah terbukti terjadi di lapangan. Dalam prakteknya, Dana Reboisasi kemudian kemudian berubah fungsi dengan munculnya istilah “bagi hasil” antara pusat dan daerah penghasilnya. Mungkin pengertian “bagi hasil” tidak dimaksudkan sebagai bagi-bagi penghasilan (income), namun penggunaan terminologi yang keliru ini mengandung pengertian yang juga keliru dari yang semestinya.
Contoh sejenis di sektor Pertambangan adalah adanya DCD yang berupa Dana Reklamasi untuk bekas tambang. Apabila areal pertambangan berada di dalam kawasan Hutan Negara, DCD digunakan untuk mereklamasi bentang alam yang ditambang, termasuk reklamasi tegakan hutan yang semula ada di areal yang bersangkutan. Kalau kondisi lahan kawasan Hutan Negara sebelum digunakan untuk ekstraksi barang tambang adalah berupa lahan kosong, rusak, semak belukar, bertegakan tak produktif (tanah kosong), Dana Reklamasi digunakan untuk pembangunan tegakan hutan ybs. Penulis belum jelas oleh siapa Dana Reklamasi Tambang ini dikumpulkan dan digunakan.
Jelaslah kiranya bahwa penggunaan dana PNBP harus dipisahkan dari (a) yang bisa untuk kepentingan konsumsi (rutin) dan (b) untuk kepentingan replacement bagi kelestarian aktiva negara, agar kinerja manfaat sumber daya alam bagi bangsa tidak menurun di masa berikutnya. Hicks (1947) menyampaikan dalil tentang penghasilan lestari (sustainable income) yang adalah bagian penerimaan yang maksimum bisa untuk pengeluaran konsumsi sedemikian sehingga penghasilan berikutnya tidak menurun. Dalil ini dalam tahun 1970 di Stockholm dideklarasikan World Bank (Brundtland Comission) sebagai salah satu prinsip sustainable economic development (SED). Dengan SED-lah kemudian dikenalkan terminologi DCD Sumber Daya Alam itu. Dalam arti yang lebih luas lagi, deklarasi SED tersebut menempatkan penghasilan total Pemerintah dari sektor pertambangan masuk ke dalam pengertian  Depresiasi Sumber Daya Alam Tak Terbarukan yang tidak boleh digunakan untuk belanja konsumsi rutin secara langsung, melainkan hanya boleh digunakan bagi pembelian barang-barang kapital. Dengan kata lain, penghasilan Pemerintah dari sektor pertambangan harus digunakan khusus bagi modal transformasi ke kegiatan sustainable activities. Dalam perhitungan Pendapatan Nasional oleh BPS menyediakan data keduanya, yakni PDB yang mencakup BBM (tambang) dan PDB non Tambang, yang secara tak langsung terdapat pengakuan bahwa pendapatan dari sektor pertambangan adalah bukan penghasilan untuk bisa digunakan bagi pembelanjaan rutin.

Kasus PP nomor 2 Tahun 2008
PP nomor 2 tahun 2008 mengandung resiko kesalahan sejak dari judulnya. Kesalahan pertama adalah berupa naskah judul PP yang berbunyi: Peraturan Pemerintah tentang Jenis PNBP yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan.  Pertama, terminologi penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan adalah suatu penghalusan (eufemisme) kata terhadap terminologi perusakan hutan, karena kegiatan penambangan harus mengubah total bentang alam seluas areal penambangan, terkecuali apabila pengusaha mampu melaksanakan kegiatan penambangan tertutup (closed mining) seperti yang penulis dengar pada usaha pertambangan batu bara di Sawahlungo yang mengusahakan tidak merusak tegakan dan topografi lahan.
Kedua adalah bahwa kalimat yang digunakan untuk judul PP tersebut menimbulkan kesan bahwa seolah-olah peran sektor Kehutanan adalah terlalu rendah dalam sumbangannya kepada Penerimaan Negara, sehingga memerlukan lagi sumber dana dari sumber yang sebenarnya adalah milik negara juga (bukan milik Departemen Kehutanan) juga. Kiranya sudah diketahui, bahwa sumbangan sektor Kehutanan dalam perolehan penerimaan dana kontan (cash) dari sektor Kehutanan selama ini kepada Pemerintah, adalah bukan hanya dari PNBP (PSDH) saja tetapi juga dari pajak-pajak (pajak penghasilan unit-unit perusahaan maupun pajak-pajak dari nilai input tenaga kerja dan pajak-pajak yang ditimbulkan oleh pembelian faktor produksi lainnya. 
Ketiga, adalah menyangkut koherensi (konsistensi) antara naskah Utama PP dengan naskah yang termuat dalam naskah Lampiran Penjelasan. Pada naskah utama, dapat ditafsirkan bahwa yang menjadi obyek peraturan adalah PNBP dari sektor Pertambangan tidak menyangkut nilai kerusakan ekosistem dan dampaknya bagi perekonomian masyarakat yang diakibafkan oleh kegiatan penambangan. Namun, dalam Penjelasan PP ini menyebutkan bahwa retribusi PNBP penggunaan kawasan hutan adalah dipungut  dikarenakan adanya kerusakan hutan. Uraian penjelasan yang termuat dalam pada butir I (Umum) menyatakan bahwa:
“,,,,,,,,,,,, Sumber Daya Hutan berfungsi sebagai penyangga kehidupan manusia melalui berbagai fungsinya. Hilangnya fungsi hutan mengakibatkan bencana seperti banjir dan kekeringan…dst. Oleh karena itu sumber daya hutan merupakan subyek maupun obyek sekaligus sebagai subyek pembangunan yang sangat strategis.
Lebih lanjut bisa dibaca pada alinea keduanya, yang mengatakan bahwa Penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan belum sepenuhnya memberikan penghargaan terhadap nilai manfaat hutan yang hilang. Nilai manfaat hutan ini antara lain kompensasinya adalah dalam bentuk lahan kompensasi, tetapi lahan kompensasi sulit diperoleh. Oleh karena itu diperlukan suatu nilai pengganti terhadap lahan kompensasi.
Untaian kalimat yang digunakan tersebut tentu menyiratkan pengertian bahwa pegenaan retribusi yang diatur dalam PP adalah digunakan untuk kompensasi nilai ekonomi yang hilang oleh kegiatan perusakan hutan oleh sektor usaha non kehutanan yang menggunakannya, yang tentunya harus digunakan untuk replacement tegakan hutan yang rusak. Padahal PNBP yang diatur oleh naskah utama PP tidak dimaksudkan untuk dikhususkan bagi pemulihan kerusakan hutan yang ditimbulkannya. Jadi antara Penjelasan PP dengan maksud dan tujuan PP tidak konsisten (koheren). Padahal Lampiran PP yang berupa Penjelasan adalah juga merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari PP tersebut. Oleh karena itu, uraian dalam Penjelasan dalam Bab I (Umum) mutlak harus direvisi.
Penulis berpendapat, bahwa oleh karena itu retribusi bagi PNBP yang dipungut dari sektor usaha tambang, tidak harus dipermasalahkan tentang kecukupan (apakah yang masih kurang besar, atau sudah cukup, atau terlalu besar) tingkat tarif yang dikenakan Pemerintah, karena norma retribusi yang dikenakan adalah bukan kriteria bagi nilai penggantian nilai kerusakan hutan yang diakibatkan oleh penggunaan kawasan hutan oleh sektor non kehutanan.
Dana Reklamasi dan Dana Eksternalitas Penambangan
Dari uraian tersebut di muka, dapalah kiranya ditarik pelajaran bahwa yang justru harus didiskusikan para fihak, adalah justru dalam hal Dana Reklamasi, serta (seharusnya ada pungutan) sebagai pengganti nilai ekonomi Eksternalitas Negatif yang ditumbulkan oleh kegiatan pertambangan. Nilai eksternalitas negatif ini harus di hitung yang tentunya berbeda-beda untuk setiap lokasi areal penambangan. Nilai eksternalitas ini tentunya sangat besar, yang memungkinkan suatu penambangan bisa saja tidak layak untuk diusahakan, dikarenakan misalnya apabila harga pasar produk tambang tidak mampu menutup biaya total ekonomi (Total Economic Value) yang diperlukan. Apabila demikian, maka produk taambang di yang berasal dari penggunaan kawasan hutan tersebut semestinya adalah harus lebih tinggi daripada harga pasar.
Dana Reklamasi adalah dana yang digunakan untuk kepentingan pemulihan bentang alam (termasuk hutan) yang rusak oleh kegiatan penambangan. Nilai Dana Reklamasi tentunya tidak harus sama untuk setiap lokasi areal tambang. Bagi kegiatan penambangan yang ada di kawasan hutan bernilai (harga) stok tegakan tinggi tentunya Dana Reklamasi yang dipungut adalah setinggi nilai tegakan ybs, tidak sama besarnya apabila kawasan hutan yang digunakan adalah bertegakan hutan bernilai rendah. Reklamasi semestinya mencakup seluruh biaya yang diperlukan untuk bisa mencapai terbentuknya hutan seperti semula, yang akan relatif sangat sangat besar apabila nilai ekonomi tegakannya adalah juga tinggi yang akan memperbesar pungutan Dana Reklamasi yang harus disediakan apabila penambangan dillaksanakan di kawasan Hutan Lindung. Lebih jauh lagi, dana yang diperoleh dari harga pasar kayu yang diperoleh dari kegiatan penambangan, sebenarnya adalah harus disetor kepada Negara (dalam pos PNBP) sepenuhnya (tidak ada IPK bagi kegiatan Pertambangan) karena pembongkaran tegakan hutan adalah bukan merupakan hasil penambangan, melainkan adalah merupakan biaya penambangan.  
Kesimpulan
1.    PNPB yang diatur dalam PP nomor 2 tahun 2008, tidak ada kaitannya dengan nilai kerusakan hutan. Oleh karena itu tidak diperlukan keberatan tentang besar tarif PNBP ini ditinjaui dari sisi nilai kerusakan hutan oleh kegiatan penambangan. Nilai Ekonomi Kerusakan Hutan  dan nilai  ekonomi dampak Penambangan (eksternalitas negatif) yang harus dibayar oleh setiap usaha penambangan harus diatur tersendiri.
2.    Nilai PNBP dari usaha pertambangan bisa mencakup pungutan sebesar nilai pasar kayu yang tertebang oleh kegiatan penambangan. Tidak dibernarkan adanya IPK di sektor usaha penambangan, karena kayu yang tertebang dari pembongkaran tegakan hutan bukan merupakan pendapatan penambangan.
3.    PP nomor 2 tahun 2008 diperlukan revisi terutama dalam hal konsistensi antara Naskah Utama dengan naskah Penjelasannya (terutama untuk bab I Penjelasan). Revisi juga diperlukan untuk jenis tarif L3 yang lebih rendah dari tarif L2.

PP Prov Kalbar Tahun 2012 Tentang Penggunaan Lahan Untuk Kegiatan Usaha Pertambangan Dengan Kegiatan Usaha Sektor Lain



PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT

RANCANGAN
PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT
NOMOR TAHUN 2012
TENTANG
SINKRONISASI PENGGUNAAN LAHAN UNTUK KEGIATAN USAHA
PERTAMBANGAN DENGAN KEGIATAN USAHA SEKTOR LAIN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR KALIMANTAN BARAT,


Menimbang
:
a.
bahwa Mineral dan Batubara merupakan Sumber Daya Alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang keberadaannya dikuasai dan diatur oleh Negara. Oleh karena itu perlu dimanfaatkan secara optimal untuk pembangunan perekonomian nasional, daerah dan kesejahteraan masyarakat;


b.
bahwa Mineral dan Batubara merupakan komoditas tambang yang vital dan strategis yang keberadaannya tidak dapat dipindahkan, sehingga perlu mendapatkan prioritas dalam pemanfaatannya.


c.
bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara memegang peranan penting  dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional secara berkelanjutan;


d.
bahwa pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan akhir-akhir ini menghadapi hambatan akibat pada lokasi lahan yang diizinkan terdapat perizinan sektor lain; sehingga perlu dilakukan sinkronisasi dalam pelaksanaan penggunaan lahan yang diatur dalam Peraturan Daerah;


e.
bahwa berdasarkan pertimbangan  sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Sinkronisasi Penggunaan Lahan untuk Kegiatan Usaha Pertambangan dengan Kegiatan Usaha Sektor Lain;




Mengingat
:
1.
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


2.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1106);


3.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);





4.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);


5.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647);


6
UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817);


7.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872);


8.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401);


9.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411);


10.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);


11.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5073);


12.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);


13.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemeritah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);






14.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);




15.
Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739);


16.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);


17.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor  5059);


18.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor  5068);


19.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234 );             


20.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996  Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3643 );             


21.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285);


22.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4696);


23.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);


24.
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor  4833);


25.
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor  5110);





26.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor  5111);


27.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor  5112);


28.
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor  5124);


29.
Peraturan Pemerintah 78 Tahun 2010 tentang reklamasi dan Pasca Tambang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor  5172);




30.
Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan;


31.
Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2011 tentang  Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah;




32.
Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung;


33.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menhut-II/2010 tanggal 31 Desember 2010 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Dalam Hutan Alam, IUPHHK Restorasi Ekosistem, atau IUPHHK Hutan Tanaman Industri pada Hutan Produksi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 705);


34.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 694);


35.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.14/Menhut-II/2011 tentang Izin Pemanfaatan Kayu (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 142);


36.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 191);


37.
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012 tetang Peningkatan Nilai Tambah Melalui Pengolahan dan Pemurnian Mineral (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 165); sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2012 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 534);


38.
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 5 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Barat (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2004 Nomor 9 Seri D Nomor 7);





39.
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 7 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Tahun 2007 – 2027 (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008 Nomor     Tambahan Lembaran Daerah Nomor    ;


40.
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 9 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Provinsi Kalimantan Barat (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat  Tahun 2008 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat  Nomor 7);


41.
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 10 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi Perangkat Daerah Provinsi Kalimantan Barat, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2010 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat  Nomor 4);
                  
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT
dan
GUBERNUR KALIMANTAN BARAT
MEMUTUSKAN :

Menetapkan
:
RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG SINKRONISASI PENGGUNAAN LAHAN UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN  DENGAN KEGIATAN USAHA SEKTOR  LAIN.
                
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

1.
Provinsi adalah Provinsi Kalimantan Barat.
2.
Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah Provinsi Kalimantan Barat.
3.
Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota dalam Provinsi Kalimantan Barat.
4.
Gubernur adalah Gubernur Kalimantan Barat.


5.
Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota se Provinsi Kalimantan Barat.
6.
Perangkat daerah adalah perangkat Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota  terdiri atas Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, Badan dan atau Lembaga Teknis.
7.
Pejabat yang berwenang adalah Menteri, Gubernur dan Bupati  yang diberikan Kewenangan berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku untuk menerbitkan/ memberikan Izin pemanfaatan Sumber Daya Alam.
8.
Sinkronisasi adalah penyelarasan dan penyelerasian Penggunaan lahan oleh 2 (dua) atau lebih pemegang izin usaha pemanfaatan sumber daya alam yang berbeda jenis usahanya.
9.
Sumber Daya Alam yang selanjutnya disingkat (SDA), adalah segala kekayaan alam yang terdapat diatas, dipermukaan, dan didalam bumi seperti mineral, batubara, hutan, air, tanah, ikan, kebun, dan lain-lain.



10.
Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.
11.
Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.
12.
Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.
13.
Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.


14.
Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.
15.
Usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pasca tambang.
16.
Tambang Terbuka adalah kegiatan tambang yang aktifitasnya berhubungan langsung dengan bukaan yang dibuat dipermukaan tanah, bertujuan untuk mengambil bahan galian mineral dan atau batubara.
17.
Tambang bawah tanah adalah metode penambangan yang segala kegiatan atau aktivitas penambangannya dilakukan dibawah permukaan bumi, dan tempat kerjannya tidak langsung  berhubungan dengan udara luar.
18.
Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disingkat IUP, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.
19.
Izin Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disingkat IUPK, adalah izin untuk melaksankan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.


20.
Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi yang selanjutnya disingkat IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.
21.
Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi yang selanjutnya disingkat IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.
22.
Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/ atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.


23.
Izin Usaha Perkebunan adalah izin usaha yang diberikan untuk usaha perkebunan yang terdiri atas budi daya tanaman perkebunan dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan.
24.
Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia.
25.
Penggunaan lahan adalah pemanfaatan lahan untuk melaksanakan berbagai kegiatan usaha.
26.
Hutan adalah suatu ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan, termasuk hutan rawa.
27.
Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.
28.
Kawasan adalah daerah yang memiliki ciri khas tertentu atau berdasarkan pengelompokan fungsional kegiatan tertentu.


29.
Kawasan Hutan adalah  wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
30.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri, yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HTI adalah Izin untuk memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari penyiapan lahan, pembenihan atau pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau penebangan, dan pemasaran hasil hutan kayu.
31.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam, yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HA adalah Izin untuk memanfaat hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari pemanenan atau penebangan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan kayu.
32.
Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya.
33.
Izin Usaha Hortikultura, yang selanjutnya disingkat IUH adalah izin usaha yang diberikan kepada pelaku usaha yang melakukan usha budidaya hortikultura, pasca panen dan atau wisata agro.
34.
Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.


35.
Masyarakat adalah keseluruhan orang yang terdiri dari perseorangan, kelompok, maupun organisasi yang peduli dengan sumber daya alam dan lingkungan.
36.
Wilayah Pertambangan yang selanjutnya disingkat WP adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.
37.
Tata Ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan maupun tidak.
38.
Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.
39.
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang selanjutnya disingkat RTRWN adalah rencana kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah Nasional.


40.
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang selanjutnya disingkat RTRWP adalah penjabaran Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang memuat rencana kebijakan operasional dari Rencana Tata Ruang Wilatah Nasional dan strategi pengembangan wilayah provinsi.
41.
Rencana Zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin.


42.
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat RTRW Kabupaten/Kota adalah penjabaran Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang memuat ketentuan peruntukan ruang wilayah Kabupaten/Kota.





43.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam yang selanjutnya disingkat IUPHHK-RE adalah Izin Usaha yang diberikan untuk membangun Kawasan dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi yang memiliki Ekosistem penting, sehingga dapat mempertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan Pemeliharaan, Perlindungan, dan Pemulihan Ekosistem Hutan termasuk Penanaman, Pengayaan, Penjarangan, Penangkaran Satwa, Pelepaslarian Flora dan Fauna untuk mengembalikan unsur Hayati (Frora dan Fauna) serta unsur non Hayati ( Tanah, Iklim dan Topografi ) pada suatu Kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan Hayati dan Ekosistemnya.
44.
Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan kepada pihak lain untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan dan fungsi kawasan tersebut.
45.
Komoditas adalah suatu objek barang dan atau jasa  yang memiliki nilai dan dapat diperdagangkan.
46.
Izin Usaha Sektor Lain adalah Izin Usaha Perkebunan, Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tananaman Industri (IUPHHK-HTI), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekpsistem dalam Hutan Alam (IUPHHK-RE), dan izin Usaha Hortikultura (IUH).


BAB II
ASAS, MAKSUD, DAN TUJUAN

Pasal 2

(1)  Asas Peraturan Daerah ini adalah :
a.  Manfaat;
b. Keadilan;
c.  Keseimbangan;
d. Keberpihakan kepada kepentingan bangsa;
e.  Partisipatif;
f.   Transparansi;
g.  Akuntabilitas;
h. Berkelanjutan; dan
i.   Berwawasan lingkungan.
(2)  Maksud Peraturan Daerah ini adalah memberikan pedoman penggunaan lahan dalam pelaksanaan pemanfaatan Sumber Daya Alam khususnya kegiatan usaha Pertambangan dengan kegiatan usaha sektor lainnya. 

Pasal 3

Tujuan Peraturan Daerah ini adalah :
a.    mencegah dan/atau mengurangi terjadinya konflik penggunaan lahan dalam pelaksanaan pemanfaatan  SDA, khususnya untuk kegiatan  usaha pertambangan dengan kegiatan usaha sektor lainnya;
b.   terwujudnya pemanfaatan semua potensi SDA seperti Pertambangan, Perkebunan, Kehutanan, Perikanan, Pertanian dan lain-lain secara optimal dan berkelanjutan;
c.    terciptanya iklim investasi yang kondusif dan berkembang;
d.   meningkatkan pertumbuhan perekonomian daerah dan nasional.

BAB III
PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM
Pasal 4

(1)  Semua Potensi SDA seperti Pertambangan, Kehutanan, Perkebunan, Pertanian dan Perikanan yang berada dalam wilayah Provinsi Kalimantan Barat harus dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan pembangunan perekonomian Daerah dan Nasional.

(2)  Pemanfaatan Potensi SDA tersebut pada ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan pengelolaan yang berkelanjutan dan dengan memperhatikan prinsip pengelolaan Lingkungan Hidup yang baik dan benar sesuai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
(3)  Pemanfaatan Potensi SDA sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan setelah memperoleh Izin dari pejabat yg berwenang.

Pasal  5

Izin pemanfaatan potensi SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) meliputi :
a.    IUP;
b.   Izin Usaha Perkebunan;
c.    Surat Izin Usaha Perikanan;
d.   IUPHHK-HTI;
e.    IUPHHK-HA;
f.     IUPHHK-RE;dan
g.    Izin Usaha Hortikultura.

Pasal  6

(1)  Pemanfaatan Potensi SDA  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus berada pada kawasan sesuai peruntukkannya sebagaimana ditetapkan dalam rencana Pola Ruang pada RTRW.
(2)  Pemanfaatan Potensi SDA pertambangan yang kawasan peruntukannya berada pada lahan yang sama dengan sektor lain, akan dilakukan sinkronisasi dalam kegiatan pemanfaatan lahannya.  

BAB IV
PENGGUNAAN LAHAN UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN
Pasal  7
(1)  IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, dapat berupa IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi.
(2)  Penggunaan lahan untuk Kegiatan IUP Eksplorasi meliputi kegiatan Penyelidikan Umum, Eksplorasi dan Studi Kelayakan.
(3)  Penggunaan lahan untuk Kegiatan IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, Pengolahan dan Pemurnian, serta Pengangkutan dan Penjualan.
(4)  Kegiatan Pertambangan Operasi Produksi meliputi tambang terbuka dan tambang bawah tanah.




Pasal  8

Lahan untuk kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dapat digunakan untuk sementara atau selama kegiatan usaha pertambangan berlangsung, sesuai dengan izin yang diberikan.   

Pasal  9
(1)  Pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi Wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak, termasuk hak atas tanah milik masyarakat sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak atau minimal sesuai dengan patokan harga yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.
(2)  Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IUPK.
(3)  Penyelesaian Hak atas tanah masyarakat untuk kegiatan usaha pertambangan oleh pemegang IUP dilakukan dengan cara :
a.    Jual beli;
b.   Ganti Rugi;
c.    Sewa-menyewa; atau
d.   kesepakatan bersama.
(4)  Pemegang IUP yang telah melaksanakan penyelesaian hak atas tanah masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberikan Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(5)  Hak atas IUP dan atau IUPK bukan  merupakan Pemilikan Hak atas Tanah.
     
BAB  V
PENGGUNAAN LAHAN UNTUK KEGIATAN USAHA ANTAR SEKTOR
Pasal  10
(1)  Apabila pada lokasi lahan yang sama terdapat IUP dan Izin Usaha Pemanfaatan SDA lainnya yang telah diberikan oleh Pejabat yang berwenang, dan penerbitan izin dimaksud sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka keberadaan  perizinan tersebut tetap diakui.
(2)  Pemanfaatan lokasi/lahan yang sama oleh 2 (dua) pemegang izin yang berbeda jenis usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan kesepakatan pemegang izin dan/atau memperhatikan prioritas usaha.
Pasal  11
(1)  Penerbitan izin pemanfaatan SDA pada lokasi/lahan yang sama untuk 2 (dua) atau lebih jenis usaha yang berbeda, hanya dapat diberikan untuk kegiatan usaha pemanfaatan sumber daya pertambangan.
(2)  Penerbitan izin pemanfaatan SDA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang izin pertama dan/atau setelah mendapat penilaian dari Tim Terpadu.
Pasal  12
IUP dapat diberikan prioritas untuk melakukan kegiatannya pada lokasi lahan yang sama dengan lokasi lahan izin usaha sektor lain.


Pasal  13
(1)  Pelaksanaan Kegiatan Izin Usaha Pemanfaatan SDA Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara bergantian atau beriringan berdasarkan kesepakatan tertulis kedua belah pihak pemegang izin dan disetujui oleh Pejabat yang berwenang.
(2)  Penyelesaian perselisihan pemanfaatan SDA pada tahap pertama diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat.
(3)  Apabila upaya yang dilakukan oleh kedua belah pihak pemegang izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak  mencapai kesepakatan, maka pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan dengan kegiatan usaha sektor lain ditentukan berdasarkan skala prioritas yang dinilai oleh Tim Terpadu yang dibentuk oleh Gubernur/Bupati/Walikota.



Pasal  14
Penentuan skala prioritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) dinilai berdasarkan  kriteria sebagai berikut :
a.  bermanfaat bagi peningkatan pendapatan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan kesejahteraan masyarakat;
b. kebutuhan pengembangan industri;
c.  valuasi potensi SDA; dan
d. visibilitas lahan.

Pasal  15

(1)  Tim terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) terdiri dari Tim Tingkat Provinsi dan Tim Tingkat Kabupaten/Kota.
(2)  Tim Terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari anggota tetap dan anggota tidak tetap.
(3) Keikutsertaan instansi terkait dalam keanggotaan Tim Terpadu sebagaimana   dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkat permasalahan yang terjadi.
(4) Tim  Terpadu  Tingkat   Provinsi   melaksanakan   penilaian  Skala Prioritas terhadap penggunaan lahan oleh 2 (dua) atau lebih pemegang Izin usaha pemanfaatan SDA yang izinnya diterbitkan oleh Gubernur.
(5) Tim Terpadu Tingkat Kabupaten/Kota melaksanakan penilaian Skala Prioritas terhadap penggunaan lahan oleh 2 (dua) atau lebih pemegang Izin usaha pemanfaatan SDA yang izinnya diterbitkan oleh Bupati/Walikota.
(6) Tim Terpadu Tingkat Provinsi bersama Tim Terpadu Tingkat Kabupaten/Kota melaksanakan Penilaian Skala Prioritas penggunaan lahan oleh 2 (dua) atau lebih pemegang Izin Usaha Pemanfaatan SDA yang salah satu izinnya diterbitkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota.
(7) Ketentuan lebih lanjut tentang tim terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota.

BAB  VI

PENETAPAN SKALA PRIORITAS PENGGUNAAN LAHAN
Pasal  16

(1)  Dalam menentukan skala prioritas penggunaan lahan antara kegiatan Usaha Pertambangan dengan kegiatan usaha sektor lainnya, Tim Terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15  harus melakukan pengkajian dan penilaian terhadap data administrasi dan melakukan pemeriksaan/peninjauan ke lapangan atau lokasi kegiatan.
(2)  Potensi SDA pertambangan yang sudah layak tambang diprioritaskan dalam penggunaan lahan sepanjang telah masuk dalam rencana kerja pemegang IUP.
(3)  Lokasi lahan IUP yang belum masuk dalam rencana kerja, untuk sementara lokasi lahannya dapat digunakan oleh pemegang izin usaha sektor lain dalam jangka waktu tertentu atas dasar kesepakatan kedua belah pihak.

Pasal  17

(1)  Berdasarkan hasil penilaian terhadap kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan hasil pemeriksaan/peninjauan lapangan atau lokasi kegiatan, Tim Terpadu  menentukan prioritas penggunaan lahan yang dituangkan dalam Berita Acara dan ditandatangani oleh semua anggota Tim Terpadu.
(2)  Hasil penilaian dan pemeriksaan/peninjauan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada Gubernur dan/atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
(3)  Gubernur dan/atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya menetapkan prioritas penggunaan lahan untuk salah satu pemegang izin usaha berdasarkan laporan dan Berita Acara yang disampaikan oleh Tim Terpadu.
(4)  Apabila terjadi perselisihan antara Pemegang Izin Usaha yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota dengan Pemegang Izin Usaha yang diterbitkan oleh Gubernur, maka skala prioritas penggunaan lahan berdasarkan penilaian Tim terpadu Provinsi dan Tim terpadu Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Gubernur.
(5)  Hasil penetapan prioritas penggunaan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Pemegang Izin Usaha.
(6)  Paling lama 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya skala prioritas penggunaan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau ayat (4), pemegang izin usaha wajib melaksanakan prioritas penggunaan lahan yang telah ditetapkan.

BAB  VII
PEMBERIAN KOMPENSASI ATAS PENGGUNAAN LAHAN
Pasal  18
(1)  Pemegang izin usaha yang diberikan prioritas untuk menggunakan lahan dan melakukan kegiatan usahanya dapat memberikan kompensasi terhadap pemegang izin usaha lainnya berdasarkan kesepakatan bersama.
(2)  Hasil kesepakatan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Gubernur dan/atau Bupati/Walikota.


BAB  VIII
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 19

Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan SDA mempunyai hak untuk melakukan kegiatan usahannya pada lokasi lahan yang diizinkan oleh Pejabat yang berwenang sepanjang telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini.





Pasal  20

(1)    Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan SDA Wajib mentaati prioritas penggunaan lahan yang telah ditetapkan oleh Gubernur dan/atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan SDA yang telah mendapatkan penetapan prioritas penggunaan lahan wajib melaporkan perkembangan kegiatan usahanya sebagaimana diatur dalam izin usahanya kepada Gubernur dan/atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 21

(1)  Dalam  hal  pada  lokasi  lahan  yang  sama   terdapat 2  (dua)  atau lebih pemegang izin usaha yang berbeda jenis usahanya yang bersama-sama melakukan kegiatan usaha, maka kedua atau lebih pemegang izin tersebut Wajib melakukan kegiatan :
a.    pemberdayaan masyarakat;
b.   pengelolaan lingkungan sesuai dengan AMDAL atau UKL dan UPL  yang telah disahkan; dan
c.    reklamasi terhadap lahan yang telah selesai diusahakan oleh pemegang izin usaha pertambangan.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan Rencana Kerja yang dibuat oleh pemegang izin usaha dan disahkan oleh Gubernur dan/atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.


BAB  IX
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal  22
(1)  Pemegang izin usaha yang diberikan prioritas menggunakan lahan tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (6), maka Gubernur dan/atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan pengurangan luas lahan izin usaha pada lokasi yang diperselisihkan dan/atau mencabut izin usaha pemanfaatan SDA pada lokasi tersebut.
(2)  Pemegang izin usaha yang tidak mendapat prioritas penggunaan lahan tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), maka Gubernur dan/atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan pengurangan luas lahan izin usaha pada lokasi yang diperselisihkan dan/atau mencabut izin usaha pemanfaatan SDA pada lokasi tersebut.


BAB  X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
Pada saat berlakunya Peraturan Daerah ini, usaha pemanfaatan potensi SDA pada lahan yang sama oleh 2 (dua) pemegang izin usaha yang berbeda, paling lama 3 (tiga) tahun harus diselesaikan sesuai dengan Peraturan Daerah ini.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Barat.

Ditetapkan di Pontianak
pada tanggal 12 September  2012
    GUBERNUR KALIMANTAN BARAT,





 CORNELIS
      Diundangkan di Pontianak
      pada tanggal  12 September 2012          
        SEKRETARIS DAERAH
 PROVINSI KALIMANTAN BARAT,



                      
      M. ZEET HAMDY ASSOVIE

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2012 NOMOR 4



PENJELASAN
ATAS        
PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT
NOMOR :                TAHUN 2012
TENTANG
SINKRONISASI PENGGUNAAN LAHAN UNTUK KEGIATAN USAHA
PERTAMBANGAN DENGAN KEGIATAN USAHA SEKTOR LAIN


I.       UMUM
Provinsi Kalimantan Barat memiliki potensi Sumber Daya Alam yang sangat besar seperti mineral, batubara, hutan, tanah, ikan, kebun, dan tanaman pertanian yang merupakan Karunia Tuhan Yang Maha Esa. Keberadaan potensi Sumber Daya Alam tersebut dikuasai dan diatur oleh Negara untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat.
Salah satu potensi Sumber Daya Alam  yang memegang peranan sangat penting, strategis dan vital adalah Sumber Daya Mineral dan Batubara. Oleh karena itu potensi Sumber Daya Mineral dan Batubara tersebut perlu dikelola dan dimanfaatkan secara berkelanjutan melalui peberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) dalam rangka mendorong pembangunan perekonomian Daerah dan Nasional.
Mengingat keterdapatan potensi sumber daya Mineral dan Batubara tersebut berada dipermukaan dan didalam bumi yang sifatnya menetap/tidak dapat dipindahkan, maka pemegang  Izin Usaha Pertambangan (IUP) perlu diberikan Prioritas kesempatan untuk melakukan kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan secara berkelanjutan pada lokasi/lahan yang diizinkan.
Secara faktual  saat ini telah terjadi penerbitan izin usaha pemanfaatan Sumber Daya Alam khususnya Sumber Daya Mineral dan Batubara pada 1 (satu) lokasi/lahan yang sama terdapat 2 (dua) izin usaha atau lebih pemegang izin usaha  pemanfaatan SDA yang berbeda jenis usahanya antara lain :
1. Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin usaha Perkebunan (IUP)
2. Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP)
3. Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Hortikultura (IUH)
4. Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan anaman (IUPHHK-HT).
5. Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA).
Memperhatikan permasalahan tersebut diatas; untuk menjaga Konsistensi Kebijakan Pemerintah Daerah, maka terhadap izin usaha pemanfaatan Sumber Daya Alam khususnya Mineral dan Batubara yang telah diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang, dan penerbitan izin tersebut sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku; keberadaan izin tersebut harus diakui, dan kedua belah pihak pemegang izin memiliki Hak yang sama untuk melakukan kegiatan usahanya.
Disisi lain upaya negosiasi yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak pemegang izin usaha untuk melakukan kegiatan pemanfaatan Sumber Daya Alam pada lahan yang disengketakan sering tidak mencapai kesepakatan, karena salah satu pihak mengajukan tuntutan ganti rugi yang sangat besar dan tidak sesuai dengan azas akuntabilitas.



Dampak dari kondisi tersebut diatas adalah para pemegang izin tidak dapat melaksanakan kegiatan usaha pemanfaatan Sumber Daya Alam pada lokasi lahan yang diizinkan, terjadi konflik penggunaan lahan, mengganggu iklim investasi dan pembangunan perekonomian menjadi tidak berkembang.
Oleh karena itu untuk mengatasi dan atau mengeliminir terjadinya sengketa/perselisihan antara 2 (dua) pemegang izin usaha pemanfaatan Sumber Daya alam pada 1 (satu) lokasi lahan yang sama, Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Barat perlu menetapkan kebijakan dalam menentukan Skala Prioritas penggunaan lahan yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang “ SINKRONISASI PENGGUNAAN LAHAN UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN DENGAN KEGIATAN USAHA SEKTOR LAIN “.


II.     PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
     Cukup jelas
      Pasal 2
         Ayat (1)
              Peraturan Daerah ini berazaskan :
a.    Manfaat, keadilan dan keseimbangan
-     Manfaat; dalam arti benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur penggunaan lahan untuk kegitan usaha pertambangan dengan kegiatan usaha sektor lain.
-     Keadilan; dalam arti mencerminkan keadilan secara proporsional bagi semua pihak (masyarakat, dunia usaha dan pemerintah)
-     Keseimbangan; dalam arti mencerminkan keseimbangan antara kepentingan individu, masyarakat, dunia usaha dengan kepentingan bangsa dan negara.
b.   Partisipatif, transparansi dan akuntabilitas
-     Partisipatif; dalam arti memberi kesempatan kepada masyarakat secara luas untuk memberikan masukan dalam penetapan kebijakan pemerintah dan daerah.
-     Transparansi; dalam arti terbuka bagi masyarakat luas untuk mengetahui kebijakan pemerintah daerah.
-     Akuntabilitas; dalam arti kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah telah mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.
c.    Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
-     Berkelanjutan; dalam arti pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dilakukan secara lestari untuk jangka panjang.
-     Berwawasan lingkungan; dalam arti pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang baik dan benar.
Pasal 3
     Cukup jelas
     
Pasal 4
           Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas




Pasal 5
     Cukup jelas
      Pasal 6
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
             
Pasal 7
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
    
Pasal     8
Kegiatan usaha pertambangan (IUP) dilakukan sesuai masa berlakunya izin yang telah diberikan , dengan penggunaan lahan bisa berlaku selamanya apabila menyangkut seluruh jaringan infrastruktur tambang ( jaringan jalan, pipa, kolam pengendapan, tempat pengolahan / pemurnian, dll).
Adapun penggunaan lahan yang masa berlakunya sementara yaitu apabila kegiatan pengambilan potensi SDA pertambangan / kegiatan Eksploitasi/Penambangan potensi SDA Pertambangan dilakukan pada lahan yang sudah tergambar jelas dalam bentuk blok – blok penambangan sesuai dengan Rencana Kerja Dan Anggaran Biaya (RKAB) yang telah dibuat.


Pasal 9
Ayat (1)      
     Cukup jelas
Ayat (2)      
     Cukup jelas
Ayat (3)      
      Penyelesaian hak atas tanah berdasarkan kesepakatan bersama , apabila dilakukan dengan masyarakat pemilik lahan bisa dilakukan antara lain dengan cara bagi hasil proporsional berdasarkan kondisi dan jenis SDA yang akan diusahakan.
Ayat (4)
Dalam melaksanakan penyelesaian hak atas tanah masyarakat; pemegang Izin Usaha Pertambangan harus membuat kesepakatan bersama secara tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Penyelesaian hak atas tanah tersebut dapat dilakukan dengan cara jual beli, ganti rugi atau sewa-menyewa; termasuk didalamnya penyelesaian atas tanaman yang tumbuh pada tanah tersebut.
Ayat (5)      
     Cukup jelas

Ayat (6)      
      Cukup jelas

Pasal 10
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Pemanfaatan SDA yang berada pada lokasi lahan yang sama dengan lokasi lahan izin usaha sektor lainnya dapat terjadi antara :
a. IUP dengan Izin usaha Perkebunan;
b. IUP dengan SIUP;
c. IUP dengan IUH; 
d. IUP dengan IUPHHK-HT;
e. IUP dengan IUPHHK-HA; dan
f.  IUP dengan IUPHHK-RE.

Pasal 11
              Cukup jelas
     
Pasal 12
Bahwa IUP diberikan prioritas dikarenakan potensi SDA pertambangan mempunyai kekhususan , yaitu :
a.  Sumber daya mineral dan batubara keberadaannya menetap di dalam dan di permukaan bumi, sehingga kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan potensi tersebut harus berada pada lokasi lahan dimana terdapat deposit mineral dan batubara dimaksud.
b.  Sumber daya mineral dan batubara memegang peranan yang sangat strategis dan vital.
“Strategis” mengandung arti dapat digunakan untuk kepentingan pertahanan/keamanan negara dan atau untuk menjamin perekonomian negara.
“Vital” mengandung arti dapat menjamin hajat hidup orang banyak dan atau produk yang dihasilkan tidak dapat digantikan dengan produk lain.

Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud “secara bergantian” dalam pelaksanaan kegiatan usaha pemanfaatan sumberdaya alam adalah pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dapat diberikan kesempatan untuk lebih dahulu memanfaatkan potensi sumber daya mineral dan batubara sesuai dengan izin yang diberikan selama jangka waktu tertentu dan setelah selesai melakukan penambangan, lahan bekas tambang tersebut direklamasi oleh pemegang IUP dan selanjutnya diserahkan kepada pemegang izin usaha sektor lain dan atau sebaliknya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan tim terpadu yang dibentuk oleh Kepala daerah adalah tim yang anggotanya terdiri dari instansi tingkat provinsi dan atau tingkat kabupaten/kota yang bertugas melakukan penilaian untuk menentukan skala prioritas penggunaan lahan terhadap 2 (dua) pemegang izin usaha pada lokasi/lahan yang sama, berdasarkan surat perintah tugas dari Gubernur dan atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
     
Pasal 14
Yang dimaksud dengan skala prioritas dalam pasal ini adalah tingkat kepentingan yang dinilai berdasarkan kriteria atau ukuran sebagai berikut :
a.  Manfaat bagi peningkatan pendapatan pemerintah, pemerintah daerah dan kesejahteraan masyarakat meliputi; besarnya kontribusi terhadap PNBP, nilai ekspor/devisa, perdagangan, ekonomi, social, dampak lingkungan dan kesempatan kerja.
b.  Kebutuhan pengembangan industri berdasarkan kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) meliputi perkiraan produksi dan kebutuhan bahan baku industri.
c.  Valuasi potensi mineral dan batubara, dihitung berdasarkan deposit yang tersedia dan nilai jual produksinya.
d.  Visibilitas lahan yaitu tingkat kelayakan lahan untuk melaksanakan suatu kegiatan usaha pemanfaatan sumber daya alam.

Pasal 15
Ayat (1)      
     Cukup jelas
Ayat (2)      
     Cukup jelas
Ayat (3)      
Cukup jelas
Ayat (4)      
     Cukup jelas
Ayat (5)      
      Cukup jelas
Ayat (6)      
     Cukup jelas
Ayat (7)      
      Cukup jelas

Pasal 16
Ayat (1)
Dalam rangka menentukan Skala Prioritas Tim Terpadu harus melakukan pengkajian dan penilaian terhadap data administrasi meliputi legalitas izin dan pemenuhan kewajiban sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan pemeriksaan/peninjauan ke lapangan/lokasi kegiatan dimaksudkan untuk mengetahui secara fisik perkembangan kegiatan usaha yang sudah dilaksanakan oleh pemegang izin dan atau menghimpun data-data pendukung yang ada di lokasi kegiatan.
         Ayat (2)
Layak tambang sebagaimana dimaksud dalam ayat ini adalah deposit mineral dan atau batubara yang berada pada lokasi yang diizinkan yang secara teknis, ekonomi, dan Lingkungan dapat diusahakan.
Sedangkan rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang dibuat oleh pemegang Izin Usaha Pertambangan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara.


Ayat (3)      
Cukup jelas
     
Pasal 17
Ayat (1)
Hasil penilaian terhadap kriteria sebagaimana dimaksud pada pasal 14 dan hasil pemeriksaan/peninjauan lapangan atau lokasi kegiatan yang dilakukan oleh tim terpadu harus dituangkan dalam berita acara. Berita acara tersebut juga harus mencantumkan nama perusahaan pemegang izin usaha yang diberikan prioritas untuk lebih dahulu menggunakan lahan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Laporan dan berita acara yang dibuat oleh tim terpadu disampaikan kepada Gubernur dan atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya melalui Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi dan atau Kepala Dinas yang mengurusi bidang Pertambangan dan Energi kabupaten/kota.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Permintaan pendapat kepada Kepala Dinas/Badan terkait dalam rangka mempertimbangkan penetapan skala prioritas penggunaan lahan dapat dilakukan oleh Gubernur dan atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dengan cara tertulis, lisan atau rapat.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 18
Ayat (1)
Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah insentif yang diberikan oleh pihak pemegang izin usaha yang mendapat prioritas untuk menggunakan lahan lebih dahulu kepada pihak pemegang izin usaha yang ditangguhkan penggunaan lahannya apabila ada kerugian yang harus ditanggung.
Pemberian kompensasi tersebut harus sesuai dengan azas akuntabilitas yaitu berdasarkan perhitungan ekonomi yang saling menguntungkan, tidak memberatkan salah satu pihak dan dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Ayat (2)
Cukup jelas
     
Pasal 19
              Cukup jelas

Pasal 20
Ayat (1)      
     Cukup jelas
Ayat (2)      
     Cukup jelas
     

Pasal 21
Ayat (1)      
     Cukup jelas
Ayat (2)      
     Cukup jelas

      Pasal 22
Ayat (1)      
     Cukup jelas
Ayat (2)      
     Cukup jelas

Pasal 23
     Cukup jelas
     
      Pasal 24
         Cukup jelas




TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR